"Duh gaya-gayaan amat sih berobat musti ke luar negeri!"
Begitulah hati julid ini berujar ketika menonton infotainment yang menayangkan artis berobat ke luar negeri.
"Apa nggak ada dokter atau rumah sakit di negeri ini yang mampu menyembuhkan penyakit?"
Setelah 5 tahun tinggal di Batam, akhirnya saya mengerti mengapa banyak orang Indonesia berobat ke negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia. Alasannya bukan semata-mata pelayanan rumah sakit di luar negeri lebih baik daripada di Indonesia. Namun kondisi geografis yang membuat orang lebih memilih berobat di luar negeri dibandingkan di dalam negeri.
Sebagai contoh rekan kerja saya. Anaknya baru lahir dan mengalami kelainan jantung bawaan. Rekomendasi dokter adalah operasi untuk memperbaiki katup antara bilik dan serambi jantung yang tidak sempurna. Tapi sayangnya prosedur operasi ini tidak bisa dilakukan di Batam dan harus dilakukan di Jakarta. Sedangkan anak teman saya usianya belum genap tiga bulan dan belum bisa dibawa ke Jakarta dengan pesawat terbang.
Jadi pilihannya adalah berobat ke Singapua atau Malaysia karena dari Batam transportasi ke dua negara tadi bisa dilakukan dengan menggunakan kapal feri. Tapi yang jadi masalah asuransi perusahaan tidak dapat digunakan untuk berobat ke luar negeri. Sangat disayangkan belum genap tiga bulan akhirnya anak rekan kerja saya harus berpulang karena tiba-tiba mengalami gagal jantung.
Kejadian Serupa Tapi Tak Sama
Saya tidak pernah berpikir akan mengalami kejadian yang mirip dengan rekan saya. Ini bukan anak atau istri yang mengalami dilema harus berobat ke luar negeri tapi saya sendiri.
Berdasarkan hasil MCU (Medical Check Up) tahun lalu saya mendapati nilai SGPT dan SGOT darah di atas ambang toleransi. Menurut penjelasan dokter penyakit dalam terjadi disfungsi hati dan harus dilakukan pemeriksaan ulang. Setelah dilakukan tes enzim hati sekali lagi ternyata hasilnya masih sama, sedangkan dari hasil USG (ultrasonografi) tidak ada anomali yang terlihat.
Berdasarkan catatan medis saya memang pernah menderita hepatitis B 15 tahun lalu dan dinyatakan sembuh total dengan status anti hepatitis B positif. Dokter menyarankan saya untuk melakukan pemeriksaan MRE (Magnetic Resonance Elastography) yang tujuannya agar diketahui secara dini jika terjadi fibrosis liver atau luka pada hati.
Karena di Batam belum ada MRE jadi prosedur pemeriksaan ini dirujuk ke salah satu rumah sakit di Jakarta. Memang sih semua biaya pemeriksaan ditanggung oleh perusahaan tempat saya bekerja. Tapi masalahanya biaya transport ke Jakarta dan akomodasi ditanggung sendiri, belum lagi harus meluangkan waktu.