Indonesia yang terkenal akan prestasi dan atlet-atlet unggulannya dalam dunia perbulutangkisan sekarang menghadapi penurunan yang sangat mengkhawatirkan. Redupnya dunia perbulutangkisan Indonesia akhir-akhir ini telah menjadi topik utama oleh penggemar bulutangkis Indonesia sebelum dan setelah kegagalan meraih medali emas pada Olimpiade Paris 2024.Â
Hal ini semakin diperburuk dengan faktanya bahwa sampai hari ini belum ada atlet men singles Indonesia yang berhasil lolos ke World Tour Finals 2024 di Hangzhou, China.Â
Dari awal tahun 2024, harapan untuk melihat atlet bulutangkis Indonesia bersinar di Olimpiade Paris mulai memudar. Hal ini dikarenakan menurunnya performa atlet-atlet Indonesia di pertandingan sebelumnya, seperti pada Indonesia Open yang diselenggarakan satu bulan sebelumnya.Â
Pada Indonesia Open ini, tidak ada satupun atlet Indonesia yang menang. Harapan yang memudar dibuktikan dari hanya satu medali perunggu yang berhasil diraih Indonesia, yaitu oleh Gregoria Mariska Tunjung di sektor women singles, sementara para atlet lainnya tersingkir lebih dahulu.Â
Redupnya dunia perbulutangkisan Indonesia ini mencerminkan tantangan besar dalam mempertahankan tradisi prestasi yang telah dibangun selama puluhan tahun. Ketua Umum PBSI sebelumnya, yaitu Agung Firman Sampurna, menyatakan bahwa faktor mental menjadi salah satu penyebab utama kegagalan tersebut dalam Olimpiade Paris 2024. Hal ini memang dikatakan oleh beberapa atlet seperti Ginting. Ia mengaku bahwa salah satu yang menghambat dirinya adalah faktor mental.
Jika dibandingkan dengan prestasi sebelumnya, Indonesia terkenal akan selalu menjadi salah satu negara unggulan dalam bulutangkis. Pada Olimpiade Tokyo 2020, Indonesia berhasil meraih medali emas di sektor women doubles oleh Greysia Polii dan Apriyani Rahayu dan di sektor men singles medali perunggu oleh Anthony Sinisuka Ginting . Sebaliknya, pada Paris 2024, tidak ada satupun medali emas yang diraih, dan hal ini menunjukkan penurunan dalam performa atlet-atlet kita.Â
Selain itu, Â sampai hari ini belum adanya atlet tunggal putra yang lolos ke World Tour Finals 2024 menambah kekecewaan dan kekhawatiran bagi penggemar bulutangkis Indonesia. Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Cina dan Jepang terus melahirkan atlet-atlet muda berbakat yang mampu bersaing di level tertinggi seperti Kodai Naraoka, Li Shifeng, Tomoka Miyazaki, Liang Weikeng, dan banyak atlet-atlet muda berkembang lainnya.
Contoh konkrit dari penurunan prestasi ini terlihat pada tulang punggung men singles Indonesia Jonatan Christie dan Anthony Sinisuka Ginting. Keduanya tersingkir di babak grup pada Olimpiade Paris 2024. Sebelumnya, mereka adalah juara di berbagai turnamen internasional termasuk All England 2024 yang terkenal sebagai salah satu pertandingan paling bergengsi di dunia bulutangkis.
 Pada All England mereka berdua mampu menunjukan permainan yang sangat baik dan keduanya saling berhadapan di final. Namun, ketidakmampuan mereka untuk tampil maksimal di ajang bergengsi menunjukkan adanya masalah dalam persiapan mental dan fisik yang harus segera ditangani oleh PBSI.
Dalam pandangan saya, kegagalan bulutangkis Indonesia untuk meraih medali emas di Olimpiade Paris 2024 bukan hanya disebabkan oleh faktor mental semata. Ada banyak aspek lain yang perlu dievaluasi secara menyeluruh. Manajemen pelatihan yang kurang profesional dan kurangnya regenerasi atlet menjadi masalah utama.Â
PBSI perlu memperbaiki sistem pembinaan dan memberikan kesempatan lebih banyak kepada atlet muda untuk berkompetisi di tingkat internasional agar tidak terjadi kesenjangan antara generasi atlet. Dapat terlihat juga atlet junior Indonesia sudah mulai kalah saing dengan atlet-atlet dari negara lainnya. Sebagai contohnya Alwi Farhan dari Indonesia dan Alex Lanier dari Perancis.
 Keduanya berumur 19, namun Alex Lanier sudah berhasil memenangkan pertandingan seperti Japan Open, mengalahkan banyak atlet senior seperti Chou Tien Chen, Shi Yu Qi, dan Kodai Naraoka. Hal ini jelas membuktikan bahwa PBSI perlu dengan segera dan sigap mengevaluasi dan bertindak agar dapat menyelamatkan dunia bulutangkis Indonesia.Â
Tindakan yang perlu diambil seperti mengatur ulang struktur kepemimpinan PBSI. Berdasarkan Taufik Hidayat, legenda bulutangkis Indonesia, Ia masuk dalam kabinet susunan kepengurusan PBSI kepemimpinan Agung Firman Sampurna 2020-2024.Â
Seiring berjalannya waktu Taufik memutuskan untuk keluar karena merasa tidak nyaman dan hanya dijadikan sebagai pajangan dalam susunan kepengurusan. Taufik juga mengakui dalam salah satu podcast bahwa dalam PBSI terlalu banyak campur aduk masalah kepentingan dan politik, hal itu yang membuat ia tidak nyaman sehingga keluar dari PBSI.Â
Kondisi bulutangkis Indonesia saat ini bisa dianalogikan sebagai sebuah pohon besar kokoh yang sudah mulai layu. Meskipun akar (sejarah) pohon tersebut kuat dan telah menghasilkan banyak buah (prestasi), jika tidak ada perawatan dan penyiraman (pembinaan), maka pohon tersebut akan kehilangan daunnya (atlet muda) dan akhirnya tidak mampu berbuah lagi (meraih prestasi).Â
Oleh karena itu, penting bagi PBSI untuk melakukan revitalisasi dalam sistem pembinaan mereka agar dapat melahirkan generasi penerus yang mampu bersaing di level dunia.
Kesimpulannya, mulai redupnya dunia perbulutangkisan Indonesia adalah sebuah fenomena yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak terkait terutama dari PBSI. Evaluasi mendalam terhadap sistem pembinaan dan struktur pengurus PBSI harus dilakukan agar tradisi emas bulutangkis Indonesia dapat kembali terjaga di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H