Semula saya mengira Presiden bisa melakukan apa pun dan memerintahkan seluruh jajaran birokrasi untuk melakukan apa kehendak dan keinginan Presiden. Jadi bila Presiden tidak mampu merealisasikan janjinya, itu karena ia tidak becus bekerja. Tetapi dalam kasus KPK vs Polri, terutama ketika KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dan kemudian dibalas oleh polisi dengan menetapkan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka dalam kasus yang direkayasa, saya melihat ternyata Presiden tidak sepenuhnya berkuasa.
Dalam konteks politik yang terfragmentasi dan politik elektoral yang kompetitif, Presiden harus berpikir matang sebelum mengeluarkan kebijakan. Salah melakukan kalkulasi, maka Presiden akan kehilangan popularitas dan ditinggalkan pendukungnya. Atau bisa jadi kebijakan itu tidak berjalan karena birokrasi dan lembaga negara punya otonomi untuk tidak melaksanakan kebijakan Presiden.Â
Faktor lain adalah tekanan dari elit politik atau lebih spesifik oligarki. Mereka ini memiliki sumber daya material luar biasa, berkontribusi besar dalam pemenangan politik elektoral dan karena itu membuat Presiden harus mengikuti keinginan mereka.
Analisis saya terbit dalam salah satu artikel di Jurnal Integritas yang diterbitkan oleh KPK. Artikel ini saya tulis kira-kira bulan Mei 2015. Sepertinya ada beberapa perkembangan baru, karena setelah berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan, Jokowi bisa jadi bukan sekedar arena tetapi juga menjadi satu unit sendiri. Â Tetapi mungkin saya akan menuliskannya kembali 2-3 tahun mendatang.
Menimbang Peluang Jokowi Memberantas Korupsi
Jurnal lengkap bisa diunduh di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H