Ketika Sri Mulyani diangkat menjadi Menteri Keuangan oleh Presiden Jokowi, banyak pengamat menuding Indonesia akan semakin menjadi negara neo-liberal. Tudingan ini berangkat dari pengalaman pahit saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1997-1998. Sebagai syarat bantuan dari International Monetary Fund (IMF), Indonesia harus mengikuti kebijakan reformasi struktural. Garis besar kebijakan itu meliputi privatisasi, deregulasi dan liberalisasi. Lalu benarkah Indonesia semakin menjadi negara neo-lib?
Artikel Richard Carney dan Natasha Hamilton-Hart yang terbit di Bulletin of Indonesian Economic Studies (2015) Volume 51, No.1, “What do changes in corporate ownership in Indonesia tell us?”, menyajikan data menarik. Kedua penulis membandingkan kepemilikan perusahaan yang listing di bursa saham Indonesia (IDX) tahun 1996 dan 2008.
Penulis mengambil sampel 178 perusahaan di tahun 1996 yang kapitalisasinya sekitar 89%. Sedangkan tahun 2008 penulis mengambil sampel 132 perusahaan dengan kapitalisasi pasar mencapai 88%. Temuannya sangat menarik karena kepemilikan negara justru meningkat dari 10,2% di tahun 1996 menjadi 14,1% di tahun 2008 dari total perusahaan publik yang mereka survey.
Demikian juga jumlah BUMN yang melantai di bursa justru semakin meningkat dari 14 perusahaan di tahun 2008 menjadi 20 perusahaan di tahun 2014. Padahal, dengan privatisasi seharusnya peran negara dalam ekonomi berkurang dan jumlah BUMN juga berkurang. Tetapi data di bursa saham justru menunjukkan fakta sebaliknya.
Temuan lain yang menarik adalah dominasi perusahaan keluarga di bursa saham walaupun menunjukkan kecenderungan penurunan. Tahun 1996, perusahaan keluarga tercatat mengontrol 68,6% tetapi pada tahun 2008 menurun menjadi 57,3%. Meskipun mengalami penurunan, perusahaan keluarga masih mendominasi perusahaan yang listing di bursa saham. Artinya, secara umum ada ketimpangan dalam ekonomi Indonesia karena porsi terbesar dari ekonomi Indonesia justru dikuasasi oleh perusahaan milik segelintir keluarga.
Hal menarik yang diungkap penulis adalah koneksi politik. Menganalisis 73 perusahaan milik keluarga di tahun 1996, penulis menemukan 52% direktur terkait dengan politik dan negara menguasai 10% saham. Pada tahun 2008, penulis menganalisis 76 perusahaan dan menemukan 47% posisi direktur terkait dengan politik, tetapi tidak ada lagi kepemilikan negara. Meskipun mengalami penurunan, tetapi fakta itu menunjukkan koneksi politik adalah faktor penting dalam berbisnis di Indonesia.
Tentu ada banyak catatan dari data yang disajikan oleh penulis. Misalnya soal kepemilikan negara dalam perusahaan publik, bukankah memang BUMN sekarang justru didorong untuk menjadi perusahaan terbuka? Atau benarkah perusahaan terbuka itu mewakili kecenderungan berbisnis di Indonesia? Meskipun ada beberapa catatan, artikel itu memberikan data-data penting. Apalagi membaca dan menganalisis ratusan perusahaan publik juga bukan penelitian yang ringan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H