"It would be possible to describe everything scientifically, but it would make no sense; it would be without meaning, as if you described a Beethoven symphony as a variation of wave pressure."
Albert Einstein
Dalam dua bulan terakhir, wacana implementasi "deep learning" mengemuka dan menjadi bahan perbincangan publik. Sekurang-kurangnya, media ternama seperti Kompas menerbitkan beberapa kolom tentang wacana tersebut, khususnya dalam bingkai berita. Dikutip dari Kompas.com, pada acara Pameran Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2024, Senin (28/10/2024) di Jakarta, Mendikdasmen Abdul Mu'ti menyatakan, "Deep learning itu bukan kurikulum. Itu pendekatan belajar." (Lebih lanjut, baca: https://www.kompas.com/tag/deep-learning#).
Deep Learning, yang populernya dikenali dengan kemampuannya dalam mengolah data kompleks karena hanya dipandang dari sudut "teknologinya" saja, kini mulai merambah (kembali) dunia pendidikan dan (cepat atau lambat) akan mentransformasi lanskap pedagogi karena terstimulasi oleh perkembangan teknologi-informasi. Esai ini secara sederhana mengeksplorasi definisi dari Deep Learning dalam konteks pedagogi, melampaui sekadar penggunaan algoritma canggih. Fokus utama kita adalah bagaimana Deep Learning dapat mendefinisikan ulang praktik mengajar dan belajar, serta implikasinya terhadap pengembangan strategi pembelajaran. Â Dengan memahami definisi ini, Â kita dapat membuka potensi Deep Learning untuk menciptakan kembali pengalaman belajar yang lebih personal, adaptif, dan efektif, Â sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan mendalam bagi setiap siswa.
Definisi Utama
Sebagai konteks dalam esai ini, kita mencoba mengenali Deep Learning secara historis. Dalam karyanya Deep Active Learning, Matsushita (2018: 8) menjelaskan, "Deep learning may be mostly recognized as the idea behind the artificial intelligence <...> However, the concept of deep learning has been present in the field of learning theory since the 1970s. The main issue was how to cross active learning, which focuses on the formats for learning, with deep learning, which focuses mainly on the quality and content of learning." Matsushita (2018) menyoroti adanya kesenjangan pemahaman yang menganggap Deep Learning sebagai konsep baru yang lahir dari perkembangan kecerdasan buatan. Padahal, akar deep learning dalam teori pembelajaran sudah ada sejak tahun 1970-an. Tantangan utamanya terletak pada  bagaimana mengintegrasikan  active learning yang berfokus pada format  dan  deep learning yang menekankan kualitas  serta konten pembelajaran. Dengan kata lain, bagaimana menciptakan  pengalaman belajar yang  tidak hanya  mendalam  dalam  pemahaman  konsep  (deep learning), tetapi juga  aktif  melibatkan  siswa dalam proses pembelajaran  (active learning).  Integrasi ini menjadi kunci  untuk  mencapai pembelajaran yang  bermakna dan  memberdayakan siswa.
Lebih lanjut, Hermida (2014: xix) dalam bukunya Facilitating Deep Learning, memberikan uraian: "Deep learning is a committed approach to learning where learners learn for life and can apply what they learn to new situations and contexts. Surface learning is a super- ficial approach to learning where students use knowledge that they acquire for writing exams or papers and soon forget it. Deep learners discover and construct their own knowledge by negotiating meanings with peers and by making connections between existing and new knowledge. Surface learners receive knowledge passively from their teachers or books. We can learn deeply, write deeply, read deeply, and engage in any academic task in a deep way. Similarly, we can approach any academic task in a surface way."
Dari uraian tersebut, paling tidak dapat diketahui bahwa Deep Learning adalah pendekatan pembelajaran yang berkomitmen untuk memosisikan pemelajar agar mampu belajar seumur hidup dan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang mereka peroleh pada situasi dan konteks baru.  Surface Learning merupakan pendekatan pembelajaran superfisial. Dalam konteks superfisial, pemelajar menggunakan pengetahuan yang mereka dapatkan hanya untuk mengerjakan ujian atau tugas tulis dan kemudian melupakannya. Pemelajar yang menerapkan deep learning menemukan dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan menegosiasikan makna bersama rekan-rekan dan membangun koneksi antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan baru. Sebaliknya, pemelajar yang menerapkan surface learning menerima pengetahuan secara pasif dari guru atau buku.  Kita dapat belajar secara mendalam, menulis secara mendalam, membaca secara mendalam, dan terlibat dalam setiap tugas akademik secara mendalam. Demikian pula, kita dapat  mendekati setiap tugas akademik secara superfisial (surface).
Secara eksplisit, Ohlsson (2011: 21) dalam bukunya yang diterbitkan Cambridge University Press (CUP), Deep Learning: How the Mind Overrides Experience, menyatakan The Deep Learning Hypothesis: "In the course of shifting the basis for action from innate structures to acquired knowledge and skills, human beings evolved cognitive processes and mechanisms that enable them to suppress their experience and over- ride its imperatives for action." Dijelaskan lebih detail olehnya, "...to articulate the deep Learning Hypothesis into specific theories for three types of cognitive change, called creativity, adaptation and conversion. The three theories postulate different mechanisms to account for these three types of change, but they share a focus on the non-monotonic aspect of cognitive change."
Dari Ohlsson, kita dapat memetik pemahaman tentang evolusi kognitif manusia. Manusia, dalam perjalanannya menggeser dasar tindakan dari struktur bawaan ke pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh, mengembangkan proses dan mekanisme kognitif yang memungkinkan mereka untuk menekan pengalaman dan mengesampingkan imperatif tindakan yang muncul dari pengalaman tersebut. Dengan kata lain,  Deep Learning memungkinkan manusia untuk  melampaui batasan pengalaman dan menciptakan pengetahuan baru yang  berbeda, bahkan bertentangan dengan  apa yang telah dialami sebelumnya.  Ohlsson  menguraikan  Hipotesis Deep Learning ini  ke dalam  tiga jenis perubahan kognitif, yaitu kreativitas, adaptasi, dan konversi. Kreativitas memungkinkan  munculnya ide dan solusi baru yang  belum pernah ada sebelumnya.  Adaptasi  memungkinkan  penyesuaian  pengetahuan  dan  keterampilan yang  sudah ada dengan  situasi baru.  Sedangkan konversi  melibatkan  perubahan  mendasar dalam  cara pandang dan  pemahaman  terhadap suatu konsep. Meskipun  ketiga teori tersebut  memiliki mekanisme yang berbeda,  mereka  memiliki  fokus yang sama pada aspek non-monotonik dari perubahan kognitif. Artinya,  perubahan kognitif  dalam Deep Learning  tidak selalu  bersifat  linear  atau  bertahap, melainkan  dapat  melompat,  berubah arah,  bahkan  mengalami  kemunduran  sebelum  mencapai  tingkat  pemahaman  yang  lebih  mendalam.  Ohlsson  menekankan  bahwa  kemampuan  untuk  mengesampingkan  pengalaman  inilah  yang  membedakan  Deep Learning  dari  bentuk  pembelajaran  lain  yang  lebih  sederhana.
Definisi Terkait
Berpijak pada fondasi akademik yang lebih praktikal namun tetap berkaitan dengan tiga definisi sebelumnya, Popenici (2023: 33) dalam karyanya Artificial Intelligence and Learning Futures menampilkan definisi deep learning dalam konteks AI sebagai berikut:
"The deep learning AI is defined as a branch of machine learning that has its roots in mathematics, computer science, and neuroscience. Deep networks learn from data the way that babies learn from the world around them, starting with fresh eyes and gradually acquiring the skills needed to navigate novel environments. The origin of deep learning goes back to the birth of artificial intelligence in the 1950s, when there were two competing visions for how to create an AI: one vision was based on logic and computer programs, which dominated AI for decades; the other was based on learning directly from data, which took much longer to mature."
Dapat ditandai bahwa kecerdasan buatan berbasis deep learning berakar dari matematika, ilmu komputer, dan neurosains. Jaringan dalam Deep Learning  memproses informasi  dengan cara yang menyerupai proses belajar pada bayi: dimulai dengan  observasi  dan  secara bertahap  memperoleh  kemampuan  untuk  menavigasi  lingkungan  baru. Sejarah Deep Learning  berawal dari  kelahiran  kecerdasan buatan pada tahun 1950-an, di mana terdapat dua visi yang  berbeda. Visi pertama  berfokus pada  logika  dan  program komputer,  yang mendominasi  pengembangan AI  selama beberapa dekade.  Visi kedua, yang menjadi dasar Deep Learning, menekankan  pembelajaran  langsung dari data. Meskipun  perkembangannya  lebih  lambat,  visi  kedua  inilah  yang  akhirnya  membawa  pada  kemajuan  pesat  dalam  Deep Learning.  Kemampuan  untuk  memproses  data  dalam  jumlah  besar  dan  mengekstrak  pola  kompleks  membuat  deep learning  menjadi  salah  satu  pendekatan  paling  menjanjikan  dalam  pengembangan  kecerdasan buatan  saat  ini.
Sementara itu, Yu dan Lu (2021: 13 & 71) dalam An Introduction to Artificial Intelligence in Education memberikan contoh implementasi pembelajaran berbasis AI dengan pendekatan deep learning. Mereka menyatakan, "With the continuous development of deep learning technologies, all kinds of deep neural network algorithms have been developed and applied to authentic educational scenarios. <...> Specifically, deep learning algorithms can be used to identify students' pronunciation and correct false pronunciation; speech synthesis technology can be used for students to have dialogs; computer vision technology can be used to identify and classify natural plants; Chinese classical literary corpus can be processed to automatically create poetries; the massive data of human painting in the process of human--computer interaction can be analyzed to predict what is drawn. Furthermore, visualization technology can be used to display all kinds of statistical information of ancient poetry, so that students can understand the background and social environments of ancient poetry from a broader perspective. In addition, intelligent tools can understand the problems of students and visualize answers to their questions through analyzing and calculating a large amount of information with semantic analysis technology."
Dengan detail, mereka memberikan contoh-contoh yang boleh jadi dapat kita adaptasi. Perkembangan pesat teknologi Deep Learning telah melahirkan berbagai algoritma deep neural network yang diaplikasikan dalam skenario pendidikan autentik.  Algoritma Deep Learning dapat mengidentifikasi dan mengoreksi kesalahan pengucapan siswa,  sementara teknologi speech synthesis memungkinkan  dialog interaktif. Di bidang sains,  teknologi computer vision  mampu mengidentifikasi dan mengklasifikasikan tumbuhan secara akurat.  Deep Learning juga  mentransformasi  studi  sastra,  di mana  korpus  sastra klasik  dapat  diproses  untuk  menciptakan  puisi  secara otomatis. Lebih  lanjut,  analisis  data  lukisan  melalui  interaksi  manusia-komputer  memungkinkan  prediksi  objek  yang  digambar,  membuka  dimensi  baru  dalam  apresiasi  seni.  Teknologi  visualisasi  juga  memiliki  peran  penting,  menyajikan  informasi  statistik  mengenai  puisi  kuno  secara  komprehensif,  sehingga  siswa  dapat  memahami  konteks  sosial  dan  latar  belakang  penciptaan  karya  sastra  tersebut. Tidak  ketinggalan,  peran  artificial intelligence dalam  bentuk  alat  cerdas  yang  dapat  memahami  pertanyaan  siswa  dan  menyajikan  jawaban  melalui  analisis  semantik  dari  sejumlah  besar  informasi.  Implementasi  deep learning  ini  menciptakan  pengalaman  belajar  yang  lebih  personal,  interaktif,  dan  mendalam,  mentransformasi  paradigma  pendidikan  tradisional  ke  arah  yang  lebih  inovatif  dan  adaptif.
Â
Penutup
Esai ini, paling tidak, telah menyajikan wacana untuk eksplorasi  definisi Deep Learning dalam konteks pedagogi, serta mengungkapkan  potensi  transformatifnya  yang melampaui  sekadar  penerapan  algoritma  canggih.  Deep Learning  menawarkan  lebih dari sekadar  peningkatan  efisiensi  dalam  proses  belajar-mengajar;  ia  merupakan  paradigma  baru  yang  mendorong  pembelajaran  mendalam,  kreatif,  dan  bermakna. Melalui  analisis  berbagai  perspektif,  termasuk  pandangan  Ohlsson  (2011)  dan  Matsushita  (2018),  kita  memahami  bahwa  Deep Learning  memungkinkan  siswa  untuk  melampaui  batasan  pengalaman,  mengkonstruksi  pengetahuan  secara  aktif,  dan  menghasilkan  pemahaman  yang  holistik. Integrasi  Deep Learning  dalam  pedagogi  menuntut  redefinisi  peran  guru,  pengembangan  kurikulum  yang  adaptif,  dan  penciptaan  lingkungan  belajar  yang  merangsang  eksplorasi  dan  penemuan. Dengan  demikian,  Deep Learning  bukan  hanya  sebuah  teknologi,  tetapi  sebuah  filosofi  pembelajaran  yang  memberdayakan  siswa  untuk  menjadi  pembelajar  seumur  hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H