Mohon tunggu...
Danang Hamid
Danang Hamid Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, father of three and coffee

Voice Over Indonesia Talent, Radio, Father of three and Black coffee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adzan Kok Diimpersonated?

10 Mei 2023   07:22 Diperbarui: 10 Mei 2023   10:08 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komedian yang sering bikin ngakak (Foto: FanPage Rina Nose)

Ketika Gilang Dirga atau Rina Nose meng-impersonate sebuah karakter, lahirlah tontonan yang menghibur dan decak kagum. Koq bisa ya mereka lakukan itu? Bahkan dengan nyaris sempurna. Ditambah lagi balutan make-up dan pakaian yang dimirip-miripkan. hasilnya menjadi luar biasa! Tak sekedar menghibur dan jadi pahala bagi pelakunya karena bikin bahagia penontonnya dengan tawa, namun mengundang rasa salut.

Pada bulan puasa lalu pun, penampilan Rina lewat gayanya yang khas  pun menyita perhatian publik  dan melahirkan decak kagum lewat aksinya saat meng-impersonate artis-artis lain dalam sebuah acara sahur di salah satu TV.

Meng-impersonate seseorang tentu perlu skill dan observasi terlebih dulu menyangkut berbagai detail sosok yang akan ditiru, mulai dari gaya dan cara bicara, pitch sound, hingga kemampuan bernyanyi. Skill yang tak semua orang bisa melakukannya.

Beberapa netizen melakukan hal yang serupa, sekedar seru-seruan atau ikut trending algoritma di beberapa platform somed beragi video. Dan di jaman digital adalah hal yang sangat mudah bila seseorang punya bakat aneh (skill jarang) lalu ingin menunjukan pada dunia bahwa dirinya punya kelebihan itu. 

Tinggal gunakan kamera Hp, lalu beraksi dan upload aksinya ke berbagai platform sosial media terutama yang berbasis video, maka kesempatan buat viral punya kans besar, apa lagi jika mau aneh-aneh dan nyeleneh yang cenderung ekstrim.

Komedian yang sering bikin ngakak (Foto: FanPage Rina Nose)
Komedian yang sering bikin ngakak (Foto: FanPage Rina Nose)
Lantas bagaimana jadinya bila hal itu dilakukan pada adzan? Tentu lebih aneh lagi! Sebut saja Mang Kaji, salah satu pegiat toa sebuah surau di satu kampung yang tidak terlalu kampung-kampung amat. Kemunculannya sering membuat gaduh pengeras suara sejak ia pensiun dari pekerjaannya yang berakibat waktunya banyak ia habiskan menggiring warga lewat berbagai narasi dengan menggunakan pengeras suara di surau.

Suatu waktu, Mang Kaji menirukan suara anak-anak saat iqomah, lalu menirukan entah suara-suara siapa saat adzan, kemudian mencoba menirukan suara seorang tokoh agama meskipun tampaknya gagal tak berhasil melakukan pitching suara yang tepat, kali lain ia pakai lagi suara anak-anak dan begitu seterusnya hampir setiap hari.

"Jangan cuma beraninya di toa yang warganya dikit,dong! Yang denger itu-itu aja juga ekting habis-habisan di pengeras suara bikin berisik aja, orang-orang malah jadi nyinyir, apa karena dia mau nutupin sesuatu?" tanya Suden menaggapi obrolan ghibah tentang Mang Kaji.

"Ngga bisa dibohongi lah! cara dia adzan, langgam dan kebiasaan berteriak  Sholluuuuu!  dengan kerasnya setelah adzan. Atau teriak Berangkat, Eksekutif yeuh! setelah iqomah pasti dia! Apalagi menjelang Shubuh, siapa lagi berani mengatakan Waktos Shubuh sakedap deui kukituna geura araribak! Geura beberesih komo nu parantos nararungkup mah.  Pasti dia, iya kan? Kan teu pantes! Nggak semua hal harus diungkap di toa lah" reaksi Suden.

Pertanyaannya, menurut Suden mengapa Mang Kaji harus berkedok orang lain? Hal ini mengundang kecurigaan, kata Suden motifnya gampang ditebak, ia ingin ditokohkan.

"Ini orang inginnya disanjung-sanjung aja sih, biasa lah dia mah gitu orangnya," kata Ijad.

"Bener, sih! Nggak perlu lah ngomen-ngomenin orang kayak ngomong Mang Otah selamat jalan, selamat bersihin tai ayam cuma lantaran dia ada tendinsi ke orang lain," kata warga lainnya.

Durasi toa spending time Mang Kaji juga sangat panjang bicara inu-itu dengan berbagai tendensi yang menjengkelkan, warga lain di bagian timur kampung  bertanya satir, "Di kulon aya ajengan anyar lain? Arek kudeta, sugan?" tanya Wiji.

***

Created by Canva
Created by Canva
Sebuah kaidah dalam Bahasa Arab menyebut Li kulli maqam maqal wali kulli maqal maqam, dikatakan bahwa  setiap perkataan itu ada tempat terbaik dan setiap tempat memiliki perkataan yang terbaik pula. Bahwa tidak setiap kata sesuai di setiap tempat, pun sebaliknya tidak setiap tempat sesuai dengan perkataan yang diucapkan.

Bagi sebagian orang, ternyata sulit berhati-hati sebelum bicara, bahkan hal ini menjadikan kaum bijak pandai mewanti-wanti agar kita bisa menakar  kemampuan seseorang menangkap perkataan, hal ini baru secara personal. Lalu bagaimana dengan bicara di ruang publik yang bernama pengeras suara? Pendengarnya bisa siapa saja.

Berbicara dengan anak-anak  akan jauh beda dibandingkan dengan ketika kita bicara dengan orang dewasa.

"Orang yang tidak terampil membaca situasi, walau niatnya baik dan benar, hasilnya bisa jadi kurang baik, bahkan buruk! Dan orang lain akan cenderung resisten, balik antipati, terlebih isi pembicaraan ada kecenderungan punya motif pribadi, kalau kata gue sih gitu," ucap seorang kawan mengkaji masalah sosial suatu malam di kedai kopi. Menurutnya, kondisi mental seseorang setiap harinya berbeda-beda maka dari itu tak bisa menyamaratakan dengan mengucapkan sesuatu seolah-olah setiap orang akan punya reaksi seragam, "Itu namanya bodoh!," celetuk yang lainnya.

Mengutip kata-kata  Binhad Nurohmat, sastrawan yang sajak-sajaknya diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Marshall Clark, pengajar dan peneliti sastra Indonesia dari Universitas Deakin Australia , tertulis pada sebuah narasi yang diberi judul Rentan:

 "Kadang ada yang berniat baik, tapi ternyata berdampak memperburuk keadaan karena melupakan keadaan bangsa ini yang belum dewasa" demikian bunyi penggalannya.

***

Disclaimer: Tulisan ini mengandung unsur ghibah dan tidak mewakili kondisi secara umum di berbagai tempat atau anti pengeras suara. Sekedar catatan keresahan pada sebuah kondisi sosial di sebuah kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun