Mohon tunggu...
Danang Hamid
Danang Hamid Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, father of three and coffee

Voice Over Indonesia Talent, Radio, Father of three and Black coffee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada Masihkah Kau Bersujud kepada-Nya

12 Maret 2023   09:14 Diperbarui: 12 Maret 2023   14:58 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kodir bercerita, katanya ia mulai belajar menulis dan ia mengawali tulisan tentang keresahannya. Apakah saya boleh menceritakan ini ke ruang publik? Tanya dia.

Catatan di dokumen Microsoft-word-nya tertulis; Bagiku Suara Adzan dari surau itu menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu ketika Shubuh, selain mengingatkan di dekat gubuk ini ada surau yang nostalgic mengingatkan pada masa kanak-kanak, maka dengan begitu aku bisa segera memulai hari dengan lebih baik. 

Tapi, kini berubah!  Narasinya menjadi lebih panjang dan bertambah, padahal rapalan adzan sudah menjadi yang paling indah, panggilan yang paling menggugah. Namun kini menjadi bising dengan aneka kalimat penuturnya, terasa merampas kedamaian dan ketentraman jiwa, padahal awalnya tinggal di sini di kampung nenek moyang, selama ini damai dan sejuk. 

Ramah penghuni dusun, kata Iwan Fals dalam lagu Ujung Aspal Pondok Gede. 

Di alinea berikutnya. Syahdan, suara bising mengusik perasaannya dari sebuah surau milik keluarga yang secara turun temurun terpelihara meski telah berubah dari bentuk aslinya, narasi itu mengusik rasa ketidaknyamanannya dalam beberapa bulan terakhir setelah bertahun-tahun tinggal di kampung yang sama.

Padahal sebelumnya, susasana kampung begitu damai, kini damai tapi gersang, muncul lagi judul lagu, kali ini milik Adjie Bandi. Masih ingat liriknya? (Baik diingatkan, di bagian refrainnya saja; Semua kehidupan dia. Berkhayal tinggal yang ada. Rindu sayangi sesama. Hidupmu sebentar saja).

Damai terusik sejak kerabatnya pensiun dari sebuah dinas dan berpindah rumah yang semula di pinggir jalan raya kini berada tak jauh dari surau dan tempat tinggalnya. Kerabatnya tersebutlah yang kemudian menguasai pengeras suara setiap waktu, ia berperan sebagai muadzin, melantunkan iqomah dan menjadi imam sholat.

Bagi Kodir tak ada masalah, justru ia senang, musabab bila sholat berjamaah tepat waktu dan ada imam sholat baru yang bisa menggantikan seorang yang sudah terlalu sepuh untuk dijadikan imam sholat. Kodir sebetulnya sedang berusaha belajar jadi muslim yang baik, walau belum bisa kafah ia selalu menyempatkan diri melakukan tata cara sholat yang utama ini, walau berjamaah tidak diwajibkan. Untuk bisa sholat tepat waktu pun sesuatu yang sangat luar biasa baginya.

Ilustrasi: Pustaka Foto Canva
Ilustrasi: Pustaka Foto Canva
Persoalan muncul manakala penguasa mic surau merasa jamaah tak kunjung datang ke musholah dan ia menjadi cenderung superior dibanding warga dusun lainnya ketika ia mengajak warga untuk melakukan sholat berjamaah dan panggilannya merasa diabaikan warga. Kemudian, penguasa mic mulai judgemental, menyebut nama, menggerutu, nada sengit, terkesan seperti tak membedakan lagi mana ruang publik atau bukan.

Apakah narasi itu pantas disampaikan lewat pengeras suara atau tidak? Lalu munculah sekat seirisan dengan resistensi dari beberapa warga termasuk Kodir sendiri yang merasa jengah dengan cara penyampainnya. Lalu apakah Kodir juga pantas menulis dan mempublikasikan di akun sosmednya, pikir dia.

Coba kamu bayangkan mendengar ini setiap kali hari masih gelap gulita dan corong pengeras suara begitu dekat dan kerasnya, bisa kamu bayangkan? Keluh Kodir.

"Hadirin, Kuu Anfusakum Wa ahlikum Naaro. Waktos parantos jam opat lima belas menit, ku kituna mangga geura garugah kanu acan gugah. Kanu atos gugah mangga geura karumbah, elapan, beberesih. Kanu atos qiyamulail geura angkat ka masjidna masing-masing,....."

Hadirin, Jagalah diri dan Keluargamu dari Api Neraka, waktu telah menunjukan jam empat lewat lima belas menit. Bagi yang belum bangun, silahkan bangun. Bagi yang sudah bangun, segera cuci, lap, bersih-bersih. Bagi yang sudah qiyamulalil segera datang ke mesjidnya masing-masing.

Begitu Kodir, mengingat seruan dari pengeras suara yang telah terekam dalam benaknya. Hal itu bahkan terjadi berulang berbulan-bulan dengan kata-kata yang lebih kurang dan persis sama. Padahal tak lebih dari dua puluh meter juga berdiri sebuah masjid jami yang diasuh seorang ulama yang mengelola sebuah pesantren dan lembaga pendidikan.

Ilustrasi: Pustaka Foto Canva
Ilustrasi: Pustaka Foto Canva
Di waktu lainnya terdengar;

 "Hasibu Qobla Antuhasabu, Arek hiji atawa duapuluh tujuh Mang Marno,?"

Hisablah dirimu sebelum Hisab orang lain. Mau dapat pahala satu atau dua puluh derajat Mang Marno? Tanya penguasa mic dengan nada fals dan jengkel.

"Nu hese mah, angger we hese! Nu cageur mah gampang (berjamaah),"

Yang susah mah tetap aja susah, yang waras mah mudah.

"Tah nu kitu meureun nu disebut Summun bukmun umyun fahum laa yarjiun, teh!"

Mungkin itulah yang disebut Sumun bukmun umyun fahum laa yarjiun, itu (Mengutip QS: Al Baqarah ayat 18 yang artinya "Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).")

Setelah iqomah selesai masih dengan pengeras suara, "Berangkat!! Tah kosong keneh sakorsi deui mang toto! cik wantun berjamaah?"

Berangkat! Nih, satu kursi lagi Mang Toto, coba beranikah berjamaah? (Ia menirukan gaya kondektur bis).

***

"Nggak jadilah, saya nggak mau publish, lha wong dosa saya juga bejibun, sering nyakitin orang tanpa sengaja, nggak hati-hati bicara juga!" Kata Kodir.

"Sebetulnya saya juga sudah tulis banyak, cuman saya delet lagi. Saya takut jadi ghibah, atau takut jika saya salah dengar, takut saya salah persepsi, saya khawatir jadi fitnah, dan saya tidak mau juga nanti dikatain macam-macam, saya curhat aja ke kamu,tapi ini harusnya juga jadi kajian, jadi bahan ngaji, kajian sosial" Kata Kodir mengurungkan niat jadi penulis.

"Ya sudah, Dir! Jika tak mau. Masalah ini adalah masalah sensitif, sudah banyak contoh pada akhirnya hanya jadi peluru hampa. Saya yakin kamu dan penguasa mic itu punya masalah pribadi, ia nggak? Mungkin ia menyeretnya ke hal lain. Ini tanggapan aku lho,ya! Bisa salah juga. Lagian dia bicara di pengeras suara, berarti itu bukan buat kamu saja. Untuk yang lain juga. Tapi apa iya setendensius itu?"

Kodir terdiam lalu ia mulai menekan control A, lalu delete dan Save. Setelah itu halaman wordnya menjadi kosong. Yang tersisa di folder hanyalah file word dengan judul tanpa isi.

"Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada, Masihkah kau Bersujud KepadaNya" Kini judulnya mengutip lirik lagu Ahmad Dhani dan Chrisye yang ia sematkan dengan k kecil.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun