Diapit oleh Selat Malaka, Samudera Hindia dan pantai utara  yang berbatasan dengan Selat Benggala, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki keunggulan secara geografis yang dikelilingi oleh laut. Provinsi paling ujung di wilayah barat Indonesia memiliki potensi tambak udang yang mumpuni, baik komoditas udang air tawar, payau dan air asin/laut.
Wilayah pesisir NAD yang memiliki panjang garis pantai 1.660 km dengan wilayah perairan laut seluas 295.370 km terdiri dari laut wilayah atau perairan teritorial dan perairan kepulauan seluas  56.563 km dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 238.807 km sangat cocok untuk budidaya udang tambak.
Diantaranya jenis udang Vannamei, salah satu komoditas andalan NAD yang kini mulai digemari oleh masyarakat untuk dibudidayakan, karena vannamei masih menjadi komoditas perikanan yang memiliki peluang usaha cukup baik, selain sangat digemari oleh konsumen domestik permintaan akan udang dari luar negeri pun cukup tinggi.
"Produksi udang Vannamei di Aceh berkisar antara sepuluh hingga duapuluh ton perhari, kali tigapuluh berarti produksi udang kita mencapai 600 ton perbulan, katakanlah 500 ton, artinya ini sudah memenuhi standar untuk eksport dan bisa menambah PAD Aceh jika semuanya bisa kita lakukan sendiri, karena selama ini pasarnya ke Medan," jelas Ardiansyah, direktur Aceh Aquaculture Cooperative (AAC) ketika tim MicroAid berkunjung ke Lhokseumawe dan Bireuen menjumpai petambak dan melihat langsung proses pembuatan tambak dan panen udang parsial serta aktivitas tambak lainnya.
AAC merupakan Koperasi Produsen Perikanan Budidaya Aceh yang melakukan pendampingan teknis bagi petambak budidaya udang di Aceh, mengajukan ide bisnis dengan para pembudidaya Aceh untuk memperbaiki kapasitas usaha petambak Aceh, meningkatkan produksi dan membantu penyediaan pakan, hatchery untuk menghasilkan bibit udang yang unggul serta bantuan teknis bagi para petambak.
Sejak didirikannya, AAC sudah membangun kerjasama dengan beberapa lembaga untuk mengembangkan usaha dan penguatan lembaga secara internal dan dukungan teknis.
"Dengan adanya kerjasama yang baik dengan berbagai lembaga seperti MicroAid atau lembaga lainnya, kami berharap bisa membangun berbagai jaringan, membangun pasar dan dengan membantu para petambak  agar mereka bisa bertumbuh dan berkembang baik dari volume-nya (tambak) dan produksi," kata dia.
"Kedatangan kami ke Aceh, selain melihat langsung aktivitas para petani tambak, kami berusaha menginventarisir kebutuhan para petani, mengenali permasalahan tambak dan melihat berbagai kemungkinan kerjasama yang lebih baik ke depannya, agar apa yang diinginkan oleh AAC dan para petani tambak bisa terealisasi, sehingga apa yang ingin dicapai dapat terwujud" ungkap Jalu (16/014/17) yang melakukan dialog langsung bersama para petani tambak di wilayah Pesisir Pantai Meunasah Drang, di Desa Palolada Kecamatan Dewantara dan di Pantai Pesisir Krueng Mane, Lhokseumawe.
Pengembangan budidaya pertanian tambak di Aceh merupakan kelanjutan program pasca masa pemulihan ekonomi pasca tsunami dengan pengembangan pengenalan tentang sistem budidaya udang dan ikan yang baik dan ramah lingkungan.
"Pasca tsunami masyarakat Aceh kan tergantung sama bantuan, nah! bagaimana kita bisa melepaskan diri dari bantuan itu kan harus berdaya. Dan diharapkan nantinya, bahwa pengembangan budidaya kedepan dengan system BMPs dan secara berkelanjutan difasilitasi oleh AAC untuk meningkatkan keberhasilan dibidang budidaya dan pendapatan rumah tangga bisa meningkat melalui kerjasama dengan MicroAid dan beberapa value chain yang terlibat," pungkas Ardiansyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H