Mohon tunggu...
Danang Hamid
Danang Hamid Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, father of three and coffee

Voice Over Indonesia Talent, Radio, Father of three and Black coffee

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ngabolang, Mendidik Anak-anak Cinta Lingkungan

6 April 2017   10:44 Diperbarui: 6 April 2017   19:00 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai Cimangpang, Galunggung (Dokpri)

Ngabolang

Libur sekolah jadi lebih spesial untuk anak-anak, karena ada kegiatan rudin yang mereka bisa lakukan, mereka menamainya dengan Ngabolang, sebuah istilah yang kini lazim dipakai untuk kegiatan jalan-jalan tanpa "tujuan yang jelas" namun jelas tujuannya untuk rekreasi gratis dengan menyusuri daerah-daerah di sekitar desa kami di Kabupaten Tasikmalaya.

Sungai, Air terjun dan pesawahan serta lereng bukit adalah tujuan kami saat ngabolang, jarak yang kami tempuh bisa sampai tujuh kilometer dengan berjalan kaki, hanya untuk menikimati keseruan-keseruan selama masa perjalanan, hingga tiba di tempat yang kami rasa cukup spesial untuk dinikmati, misalnya di sebuah sungai yang airnya jernih, tidak terlalu dalam, banyuak bebatuan terhampar dan cukup teduh.

Anak-anakku main air, mandi dan berenang dan tertawa senang diantara gemuruh aliran sungai dari gemiricik air menghantam bebatuan. Hanya sayang! di sebagian tempat banyak sampah yang sengaja dibuang ke daerah aliran sunggai, kantong-kantong kresek, stereofoam, baju-baju bekas pakai dan sampah lainnya yang tak bisa terurai dengan sendirinya menjadikan kami geram. Lalu, kepada siapa kami harus marah?

"Lihat ayah, ihhh banyak sampahnya! sayang banget airnya dikotori" ujar putriku yang kedua bereaksi, tujuan ngabolang lainnya adalah menciptkan sense of belonging anak-anak pada alam dan lingkungannya, hingga tumbuh kesadaran mencinta dan meraksa, memelihara.

Kebiasaan membuang sampah di kali, sungai dan selokan masih saja banyak dijumpai, masyarakat sendiri hampir tak merasa berdosa melakukan hal itu, padahal apa susahnya memilah, memilih, memuishkan mana yang bisa diperlakukan semestinya seperti sampah organik bisa saja mereka jadikan pakan ikan karena rata-rata penduduk di daerah ini memiliki kolam dan empang.

Budaya sungai adalah halaman belakang menjadikan kebiasaan buang sampah ke saluran air tak berubah dari waktu ke waktu, "Mereka ingin bersih di tempat mereka sendiri, di lingkungan orang lain bodo amat, ini kan picik namanya," terang seorang rekan di pemerintahan desa "Sosialisasi kemasyarakt sering dilakukan, tapi kembali pada kesadaran individu, toleranlah terhadap orang lain dan lingkungannya," imbuh Deden Gunaefi, Kades Subangjaya, Sukabumi.

HARUSKAH SEPERTI INI?

Seorang rekan di facebook sekaligus guru saya memposting gambar yang cukup menarik tentang kegelisannya, disertai dengan beberapa kalimat dan fhrase yang berbunyi "Takut Adzab Allah Setidaknya saya pernah mendapati tulisan semacam ini di tiga titik lokasi yang berbeda. Di dalam perjalanannya ternyata tulisan itu lebih efektif dibandingkan dengan sekedar himbauan atau larangan membuang sampah, bahkan dengan kalimat yang lebih kasar.

Bisa jadi hal ini menunjukkan bahwa kita (warga masyarakata) masih memiliki rasa takut dengan adzab. Apakah ini juga akan efektif diterapkan untuk mengantisipasi tindak pidana korupsi, semisal dibuat tulisan "Dilarang Melakukan Tindakan Korupsi, Ya Allah berilah adzab kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana korupsi di kantor in! Aamiin."



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun