Â
Sabtu, 20 Februari 2016 awal dari Sepuluh hari perjalanan ekspedisi, saya rasakan turbulensi luar biasa. Susilo satu dari mereka yang saya kenal saat menjemput kami ke studio Green Radio Pekanbaru, pemuda yang pernah menjadi mahot di flying squad TNTN mewakili WWF di bagian elephant protection unit, susilo terlihat gembira, masih ada 2 orang lainnya dari perwakilan wwf Riau yang menjemput kami saat itu,  ternyata bertugas mempersiapkan segala kebutuhan logistik dan segala perlengkapan untuk perjalanan ekspedisidi Taman Nasional  Tesso Nilo.
Memasuki kabupaten Pelalawan Prov. Riau mataku tidak lepas memandangi hamparan lahan-lahan sawit yang sangat luas dan sejauh mata memandang pohon-pohon sawit itulah yang berdiri tegak dan akhirnya membuat ingatan saya kembali ke akhir tahun 2015 lalu ketika asap karhutla begitu tebal melanda sumatera dan Kalimantan dan terbersit dalam benakku tanaman sawit ini seakan seperti tanaman kutukan yang membuat hutan-hutan dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan hangus dalam sekejap, tidak sedikit tanaman ini menjadi sasaran kebencian, membuat keluarga saya harus dievakuasi dari jambi ke Sukabumi dan kemudian terbayang lagi bagaimana waktu itu langit biru dan matahari sangat kami rindukan terhalang oleh warna kuning asap  dengan tingkat ISPU yang lebih dari sekedar membahayakan
Tak lama saya tertidur hingga tiba di sebuah kedai kopi, Aha! sebagai pecandu kopi  saya memang perlu kafein namun sayangnya saya tak menemukan Aceh Gayo atau kopi Toraja dalam daftar minuman kedai tersebut.
Saya menyeruputnya setelah terlebih dulu beberapa tiupan dari mulut saya mengarah ke bibir cangkir yang terbuat dari porselen, lumayan juga rasanya sedikit mirip dengan kopi unik yang hanya beredar di Cibadak Sukabumi,padahal di produksi di Bogor dan lagi-lagi apa yang kita rasa dan lihat membuat saya mengingat akan sesuatu, tiba-tiba saya ingat anak-anak. Dalam pikiran saya satu persatu mereka menyunggingkan senyumnya berharap segera ada pertemuan, saya teringat status fesbuk beberapa waktu lalu; Katakan padaku,nak! bagaimana rasanya terlupa oleh bapakmu dalam sehari saja.
"yuk a! jangan termenung aja kita berangkat lagi,perjalanan masih lumayan jauh!"
Meninggalkan Kerinci Kabupaten Pelalawan barulah pemandangan sedikit berbeda, meski diluar gelap karena hari sudah menjelang isya' jalanan yang mulus dengan dua jalur lalu lintas kendaraan cukup membantu menangkap visual-visual pinggiran jalan, sebuah Gelanggang Olahraga yang kecil tapi cukup megah dengan patung bola basket yang diangkat oleh empat tangan berdiri tegap di halaman gelanggang, setelah itu berganti dengan bangunan mesjid yang tak kalah megahnya dengan kubah-kubah yang hampir seragam dengan mesjid-mesjid kebanyakan dibangun di Riau, menurut saya hal ini juga yang menjadi salah satu karakter kota Pekanbaru, arsitektur mesjid hampir seragam dan indah-indah.
Â
Kita skip saja bagian-bagian yang lain, sampailah kami di Flying Squad tempat dimana Gajah-gajah liar dijinakan, dilatih untuk keperluan ekowisata, tempat dimana gajah-gajah sakit dirawat, tempat dimana kami packaging barang-barang, sembako, peralatan dan perlengkapan ekspedisi dan tempat dimana kami beristirahat mengumpulkan tenaga untuk segera berangkat keesokan-harinya  menempuh perjalanan  25 Kilo meter di peta, cukup dekat bukan? we'll see it later.
Â
*** Bersambung****
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H