Tak ada suara ayam jantan berkokok yang biasanya menandai pagi hari, riuh rendah suara burung yang bersahutan terdengar berbeda irama dengan bunyi nyaring saat malam di Taman Nasional Tesso Nilo, tetapi harmoni alam tetap memberikan rasa damai dan menggairahkan pagi itu, angin yang bertiup pelan, embun yang menguap di sekitar dedaunan dan rerumputan serta udara yang sedikit basah dengan kabut tipis menyambut manusia-manusia yang datang jauh dari kota demi rasa tahu apa yang terjadi didalam hutan sana.
Saya terbangun oleh aktifitas Dwi dan Rudi yang mulai merapikan semua barang bawaan perbekalan untuk hidup selama sepuluh hari di Hutan, 40 Kg beras disiapkan menjadi beberapa bagian, 7 carrier, 2 Tenda biru (koq mirip lagu Dessy Ratnasari Jaman itu), 2 alas plastik berwarna hitam, head lamp, ponco, minyak goreng, garam dan lain-lain hingga cabai merah tak lupa disertakan dalam masing-masing ransel agar berat beban nyaris sama, meski pada akhirnya kekuatan setiap orang di lapangan segera diketahui sangat berbeda.Â
Dan nama terakhir yang saya sebut tadi adalah masyarakat lokal seorang yang ditunjuk menjadi tim bantuan operasional di lapangan tentu banyak tahu tentang perubahan kondisi hutan dari waktu ke waktu dan kemudian hari ia banyak berperan dalam menunjang kelancaran ekspedisi termasuk sedikit banyak bercerita mengenai perbedaan hutan dulu dan kini, di bagian lain saya punya ceritanya tersendiri.
Menuju kawasan hutan dimana kami akan bertolak menembus ke dalam Taman Nasional Tesso Nilo ternyata harus melewati pos penjagaan yang sedikit ketat dari satpam perusahaan pengelola HTI, satu pos penjagaan di pertigaan jalan dan portal besi penghalang jalan sekira setinggi satu meter cukup memberi kesan itu terlebih bagi kita yang tidak terbiasa masuk ke wilayah HTI jika tanpa alasan yang jelas bisa dipastikan tidak akan diperkenankan memasuki area itu kecuali orang lokal yang sudah familiar.
Padahal sejatinya menurut Pak Anam orang yang pernah saya jumpai ketika rapat koordinasi persiapan ekspedisi bahwa di dataran rendah seperti Sumatera sejatinya hutan itu heterogen dengan tumbuh-tumbuhan endemik yang beraneka ragam, bisa ada meranti, sialang, jati, duren, ulin atau pohon kayu besi, Jelutung, bulian serta jenis palma dan lain sebagainya.
Jika saya tidak salah mengingat ia mengungkapkan pendapatnya mengenai penyamarataan jenis pepohonan dalam sebuah kawasan adalah hasil pemikiran jaman orde baru untuk kepentingan ekonomis dan itulah yang dinamakan HTI dimana era itu hutan Indonesia masih sangatlah banyak terutama di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya, Pak Anam melanjutkan itulah sebabnya di jaman SD masih ingat? mengapa dalam pelajaran IPA ada istilah Hutan Homogen dan Heterogen.
Konon katanya Prospek penanaman pohon eucalyptus sangat baik karena kebutuhan kayu eucalyptus mencapai lebih dari 500 ribu meter kubik per-tahunnya, Jaminan pemasaran di dalam dan luar negeri dengan harga yang semakin tinggi menjanjikan keuntungan, Eucalyptus-pun masih toleran terhadap tehnik tanam tumpang sari disekitarnya seperti menanam palawija dan berbeda halnya dengan sawit yang cuma ingin berdiri sendiri.
Sesampainya di titik awal keberangkatan dari satu pos satu ke pos lainnnya yang sudah dipetakan tim ekspedisi segera berkumpul membentuk setengah lingkaran dimana Pak Hutomo dari Balai Taman Nasional Tesso Nilo membuka acara pemberangkatan dengan menyampaikan harapan ekspedisi ini bisa menunjukan bahwa didalam hutan ada aktifitas manusia terutama dari TNTN yang efeknya sedikit banyak meminimalisir gerak perambah dan lajunya penyusutan hutan yang dari hari ke hari semakin mengkhawatirkan, sementara itu kepala balai TNTN Tandya Tjahyana mewanti-wanti agar tim ekspedisi menjaga kesehatan dengan baik, menjaga kekompakan danmenyebutkan bahwa tim ini merupakan tim perintis ekspedisi yang akan melihat langsung kondisi alam terkini di TNTN.
Setelah selesai berdoa dan penanaman pohon beringin diantara batas TNTN dan HTI di Lancang Kuning yang dikelola RAPP dalam bisingnya suara dua pesawat drone mengabadikan momen pemberangkatan, tim ekspedisi bersama rombongan yang waktu itu hadir termasuk station manajer Green Radio Sari Indriati, Pimpinan WWF Wisnu, Danramil 0313 Diding S dan sejumlah pegawai TNTN berhasil menuju pos I dengan jarak sekitar 3 KM,
Rute perjalanan ekspedisi terlampau singkat dengan waktu tempuh lebih dari satu jam, tapi perjalanan ekspedisi mulai terasa dengan banyaknya penghalang jalan seperti tanaman-tanaman hutan yang tumbuh tak beraturan, pohon-pohon yang tumbang dan duri-duri rotan menghadang langkah-langkah kaki kami.
Pos I adalah pos penjagaan milik Balai TNTN tidak berpintu dan kaca jendelanya sudah hilang, sepertinya sudah lama tidak diurus, bangunan pos ini mirip rumah sederhana dengan satu ruang tamu, dua kamar mandi dan dapur. Di tempat ini tim ekspedisi bermalam untuk pertama kalinya, ternyata pos ini punya cerita bahwa induk Gajah mengamuk di tempat ini pada tahun 2009, penyebabnya anak gajah terjebak didalam pos penjagaan dan tak bisa keluar selama beberapa lama, namun akhirnya berhasil keluar dengan sendirinya tanpa bantuan manusia.
Rombongan yang lain harus kembali ke Pekanbaru atau ke Pangkalan Kerinci, don't say good bye! karena kita akan bertemu lagi saya menatap langkah-langkah kaki mereka setelah sempat merekam beberapa wawancara dengan voice note di handphone dan Jumlah kami kini benar-benar 13, ya!Â
Ternyata kita berjumlah 13 orang dan saya baru menyadari bahwa angka ini merupakan angka sial bagi sebagian orang yang percaya dengan mitos-mitos numeric, buktinya di kabin pesawat terbang saya tidak pernah menemukan kursi dengan nomer 13, tetapi saya tak berpikir panjang soal ini karena suasana senja segera memberi sensasi yang luar biasa, sepi dari hingar bingar kegiatan manusia modern yang selalu sibuk dengan urusan dan kesenangannya masing-masing.
Suara-suara hewan yang beraktifitas malam hari mulai bersahutan, burung-burung yang berkicau seolah berlomba dalam sebuah ajang kontes bernyanyi masal, saling membalas satu sama lain dengan cuitan-cuitan yang berirama dengan tempo teratur dan tune tinggi terkadang terdengar seperti menggunakan efect echo, sustain, delay, reverb dan istilah-istilah lain dalam audio processor, dalam waktu 15 sampai 20 detik suara-suara hewan-hewan hutan itupun seperti pengulangan reffrain dalam sebuah lagu, betapa indahnya!Â
Lantas kenapa para pemilik burung peliharaan sepertinya lebih menyukai burung-burung itu ada di sangkar? bukankah akan lebih menyenangkanjika mereka lestari dan hidup di alam bebas dimana saja dan semua orang bisa menikmati nyanyiannya. Waktu Maghrib tiba, satu persatu mulai tampak pergi ke sungai untuk mengambil air wudhu dan mandi, hari yang mulai gelap menjadikan head lamp sebagai satu-satunya alat penerangan untuk berjalan, sayapun berniat mandi dan tiba giliran.
"Ayo siapa yang belum mandi? mandi dulu! kalo laki-laki mau bareng-bareng nggak masalah asal jangan bareng Ainun" seloroh salah seorang dari kami yang sedari sore sudah menyalakan api unggun sementara Rudi, Bekti dan Raju sudah asyik memancing di sungai kecil yang airnya kami gunakan untuk minum di bagian hulu, mandi di bagian tengah dan membersihkan diri setelah buang air besar di bagian hilir.
Suara keras ini cukup asing di telinga saya, saya melebarkan pandangan ke dalam hutan yang gelap dalam beberapa detik suara itu terdengar lagi membuat saya penasaran mengarahkan pandangan ke sisi lain, semakin lama saya tertegun saya menjadi paranoid dan sugesti rasa takut akan binatang buas semakin kuat, suara asing itu terdengar terus berkali-kali dan akhirnya saya mengurungkan niat untuk mandi, saya hanya mengambil air wudhu saja dan tak sempat gosok gigi, kembali ke pos saya hanya terdiam masih terbayang bagaimana jadinya jika tadi saya lanjutkan mandi?
"Sudah mandinya mas?" Sersan Syamsul bertanya, saya menjawab tidak jadi mandi
"lho kenapa?" Dwi giliran bertanya
"Parno gue, ada suara aneh kenceng banget! mahluq apa itu aku baru dengar? nah tuh ada lagi kedengaran!"
Beberapa orang yang mendengar percakapan ini sontak menertawakan, mereka terbahak-bahak enak! akhirnya mereka menjelaskan itu suara kodok hutan yang besar-besar,Â
Di sudut sungai itu memang tempat habitat mereka bahkan di tempat ini ada yang mengatakan para peniliti dari IPB sempat melakukan penelitian khusus mengenai kodok-kodok itu, sompret! saya membatin dan akhirnya kembali ke sungai untuk membersihkan diri.
Malam semakin larut setelah ikan-ikan hasil memancing dimasak bersama gulai rebung bawaan dan sebagian dibakar, kami segera makan malam. Dan sudah bisa ditebak jika kandungan glukosa dari karbohidrat dalam nasi dan protein nabati dari ikan yang kami makan akan menjadi salah satu penyebab kantuk kantuk datang, setelah selesai berbincang-bincang sambil mengitari api unggun, sebagian mulai menggelar matras dan mencari posisi nyaman untuk tidur.Â
Mereka pulas saya masih gelisah antara kantuk dan rasa lelah berusaha tak ingat apa-apa lagi, harus tertidur pulas untuk besok hari ke-2 perjalanan, hmmm! untuk tertidur saja saya masih harus berusaha keras.
*Bersambung*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H