Mohon tunggu...
Danang Hamid
Danang Hamid Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, father of three and coffee

Voice Over Indonesia Talent, Radio, Father of three and Black coffee

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Secercah Harapan di Batu Sanggan

3 Februari 2016   20:36 Diperbarui: 4 April 2017   17:38 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia menyediakan begitu banyak tempat menarik yang menyimpan keindahan alam dengan keanegaraman hayati yang tak ternilai harganya, tetapi tak jarang tempat-tempat seperti ini belum diketahui oleh masyarakat banyak karena letaknya yang cukup tersembunyi, misalnya saja Indahnya aliran Sungai Subayang di kabupaten Kampar, provinsi Riau.

Pada Pertengahan Januari 2016 lau, Green radio kembali melakukan edu trip yang bertema "Road to Eco lifestyle" tema ini dipakai dalam rangka menempuh jalan menuju eco lifestyle dan perjalanan ini  masih dalam rangkaian kegiatan 2nd anniversary Green Radio, setelah sebelumnya menggelar acara lain di Area Car Free Day Jalan Gajah Mada Kota Pekanbaru.

Yuk! kita menuju kawasan suaka marga satwa bukit rimbang bukit baling, kabupaten kampar, provinsi Riau dimana di daerah inilah air terjun Batu Dinding Berada.

 

Rombongan edu-trip berangkat ke tujuan dengan menaiki bis. Bis ini adalah bis operasional milik Kementrian lingkungan hidup dan kehutanan yang kami tumpangi sebagai bentuk dukungan dari KLHK dalam kegiatan ini, bertolak dari Kantor pusat penngendalian dan pembangunan eko region Sumatera menuju kawasan suaka marga satwa bukit rimbang bukit baling, setelah sebelumnya dilepas secara santai dan bersahaja  oleh kepala P3E Sumatera, Amral Ferry.

 

Menempuh waktu sekitar kurang lebih 2,5 Jam dari Pekanbaru, selama  perjalanan  kami disuguhi beragam pemandangan seperti meluapnya air sungai kampar yang terlihat dari atas jembatan ternyata dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk menjaring ikan, Fahrul Rodzi ketua AJI Riau yang ikut dalam rombongan edu-trip mengatakan biasanya ikan-ikan muncul ke permukaan sungai jauh lebih banyak saat debit air sungai meninggi.
Ketika bis sedang melaju di jalan negara antara kota pekanbaru dan kecamatan lipat kain,  sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan luasnya hamparan sawit yang berbaris tertib di sejumlah perkebunan yang menjadikan pemandangan dalam perjalanan sedikit membosankan, namun ketika kota kecil yang bernama Lipat kain telah kami lewati tanda bahwa sebentar lagi memasuki desa Gema, pemandangan akhirnya berubah. Pada saat bis berbelok menuju perkampungan di daerah aliran sungai Subayang, topografi tanah yang naik turun dan berbukit membuat suasana berubah jauh lebih semangat terlebih ketika jarak ke desa tanjung belit hanya tinggal ratusan meter saja.

Dan akhirnya kami tiba di desa Tanjung Belit, terlihatlah sungai dengan ornamen hamparan rumput-rumput hijau pada sisi-sisi dangkalnya, dimana air sungai  mengalir dengan tenang diantara rimbunya hutan tropis dataran rendah, bersih dan jernih  lengkap dengan  kehidupan desa yang masih tradisional dan alami dengan kepadatan perkampungan yang relatif masih sangat jarang.

Desa ini bernama Tanjung belit merupakan desa kecil yang lokasinya persis di daerah aliran sungai Subayang, Kecamatan Lipat Kain, Kabupaten Kampar. Tempat rombongan edu-trip turun lalu menaiki perahu untuk menuju ke bagian hulu Sungai Subayang.

Dengan menggunakan dua perahu yang biasa disebut piyau (pighau) oleh warga, kami segera berangkat menuju Stasiun lapangan Subayang, stasiun lapangan yang dibangun untuk mengaktifkan kegiatan konservasi alam di Riau, penggagasnya adalah WWF, adanya stasiun lapangan ini bisa menjadi wadah sekaligus katalis berlangsungnya pembelajaran tentang alam, khususnya terkait kawasan Rimbang Baling dan ekosistem hutan hujan tropis dan keanekaragaman hayati di dalamnya, tempat peneletian ekosistem termasuk lanskap, flora fauna, ekosistem air tawar, tempat pengembangan program ekowisata dan pendidikan dan pelatihan tentang konservasi alam. Di tempat inilah para peserta edu trip menginap dan melakukan diskusi mengenai kondisi kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling dalam berbagai persfektif.

 

Pada saat malam datang rombongan edu-trip menyaksikan sebuah film pendek  yang berjudul "Sungai untuk semua." dari film ini tergambar betapa masyarakat sekitar kawasan suaka marga satwa bukit rimbang bukit baling  sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokalnya, anak-anak yang bangga dengan sungai dan hutannya dan kehidupan yang tergambar sangatlah sederhana.

Usai menonton Film Sungai Untuk Semua, kegiatan malam berlanjut ke diskusi bersama para peserta edu trip yang terdiri dari awak media, perwakilan KLHK dalam hal ini staff Taman Nasional Teso nilo, Ilham Gobel dan Arsyad staff WWF Riau.

Dari hasil diskusi diketahui meskipun secara umum kondisi alam suaka marga satwa  Rimbang Baling masih terjaga, namun ternyata tidak luput dari ancaman, seperti ancaman illegal logging dan penambangan emas tanpa izin atau PETI yang nampaknya sudah mulai meresahkan warga, keresahan tersebut juga disampaikan oleh nini mamak, warga setempat yang sengaja menemui rombongan pada malam itu.

Di hari ke-2 road to eco lifestyle setelah sebelumnya melakukan treking ke air terjun Batu Dinding yang letaknya tidak terlalu jauh dari sungai Subayang, air terjun tingginya diperkirakan hanya 7 hingga 10 meter masih sangat alami dengan pepohonan padat yang tinggi menjulang diatasnya, hanya sayang dibagian kiri menuju air terjun batu dinding ini terlihat banyak sampah yang ditinggalkan para pengunjung yang tidak bertanggung jawab dengan mengotori sisi-sisi air terjun.

Setelah dirasa cukup menikmati keindahan air terjun Batu Dinding para peserta edu trip kembali berperahu menuju desa adat Batu Sanggan, salah satu desa dari  kekhalifahan Batu Sanggan. Menurut Datuk Khalifa La Hasyim, sesepuh desa Batu Sanggan, Batu Sanggan artinya batu tempat alat-alat dapur seperti gelas atau piring dan Sanggan sendiri adalah alat semacam keranjang yang terbuat dari rotan atau tumbuhan substitusinya, penamaan ini berasal dari sebuah hikayat yang diceritakan secara turun temurun.

Masyarakat Desa Batu Sanggan masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang ditetapkan secara turun temurun, diantaranya masih mengakui keberadaan harimau yang berperan sebagai penjaga hutan mereka. Masyarakat adat Batu Songgan percaya bahwa jika mereka melanggar sumpah adat, dalam pengelolaan hutan maka, mereka akan mati diterkam oleh harimau yang menjaganya.

Di Batu Songgan ada sebuah metode yang dilakukan masyarakat adat dalam mengelola sumber pangan mereka yang dikenal dengan lubuk larangan, sebuah strategi ketahanan pangan dimana masyarakat bermusyawarah dan mufakat kapan saatnya mereka akan memanen ikan di Sungai Subayang, dengan hukum adat yang disetujui oleh masyarakat mereka  menutup lubuk- lubuk yang ada di sungai agar steril dari kegiatan penangkapan ikan sehingga ikan-ikan tetap bisa bereproduksi & tidak terganggu oleh aktifitas manusia dalam memaksimalkan dirinya.

Lubuk ini kemudian dibuka setahun sekali agar mereka bisa mendapatkan ikan secara maksimal, sayang! kedatangan kami ke desa ini tidak bertepatan dengan waktu lubuk larangan dibuka oleh masyarakat, biasanya mereka membuka lubuk tersebut pada momen-momen yang mereka anggap penting seperti saat hari raya.

Untuk kebutuhan sehari hari, mereka hanya memancing atau menjala ikan di tempat-tempat yang sudah ditetapkan sebagai kawasan tangkapan ikan. Jika melihat fakta ini ternyata konservasi alam itu sudah terlebih dulu mereka lakukan dan telah ada semenjak ratusan tahun lalu di desa ini, sudah sepatutnya didukung oleh semua pihak baik pemerintah ataupun para pemangku kebijakan serta pihak-pihak yang bisa melakukan penyelamatan terhadap kelestarian alam.

Menyusuri Sungai Subayang tak henti-hentinya membuat para peserta edu trip berdecak kagum, suara air sungai yang tersibak oleh badan perahu seperti nyanyian alam yang merdu terlebih seperti disambut bunyi kicau burung dan satwa liar lainnya seperti ungko atau sejenis kera yang menghuni di kawasan suaka marga satwa bukit rimbang bukit baling.

Agenda kali ini adalah berbagi inspirasi bersama anak-anak SD desa Batu Sanggan, bertempat di balai desa Batu Songgan rombongan edu trip berkumpul bersama sekretaris desa Batu Songgan, Datuk Khalifa, guru SD dan Kelompok kerja batu bolah. Dengan pendekatan gimic kepada anak-anak SD peserta Edu-trip mencoba menyampaikan pesan betapa pentingnya peran hutan, sungai dan seluruh makhluq yang ada didalamnya bagi kelangsungan hidup manusia, selain itu anak-anak SD kami ajak untuk membuka wawasan dan cakrawalanya bahwa ada banyak profesi untuk menunjang kehidupan mereka yang bisa mereka lakoni saat besar nanti tanpa bergantung kepada harga karet yang terus turun, tidak bergantung pada perkebunan sawit atau nekad menambang emas secara liar.

Selesai berkumpul di Balai Desa, tibalah saat untuk menikmati sajian makan siang yang spesial, dengan menu nasi putih,daun singkong rebus sebagai lalapan, goreng ikan sungai dan sambal kacau, sambal yang dicampurkan dengan potongan ikan bawal hasil tangkapan dari Sungai Subayang, Soal rasa jangan ditanya, karena hari itu kami mendapati makan siang yang tiada tara  nikmatnya.

Selesai  sholat dzuhur kemudian kami berkumpul kembali untuk berjalan kaki menuju camp Pokja Batu Bolah, sebuah Camp yang dibangun untuk kelompok kerja para pemuda batu Songgan melalui pendampingan Green radio, mereka bercita-cita mengembangkan ekowisata di desa ini dengan membangun sebuah camp yang masih dalam tahap finishing, dalam perjalanan diantara rumah penduduk desa yang kebanyakan terbuat dari kayu di halaman warga kami melihat hamparan buah Semangko yang sedang dikeringkan oleh warga, buah ini menurut warga merupakan buah hutan yang berguna untuk obat-obatan tradisional seperti menghilangkan demam dan panas dalam.

Setelah dirasa cukup melihat hasil kerja pokja batu bolah yang tengah membangun camp ada terbersit harapan besar dari mereka untuk segera memanfaatkan camp ini agar bisa  menunjang roda perkenomian desa dengan mengembangkan eko wisata di desa Batu Songgan.

Sebuah tempat datangi kembali, tempat dimana kami mendapati sebuah batu yang berada di pinggir sungai Subayang yang dinamakan batu bolah atau Batu Belah. Di dalam hikayat yang diceritakan secara turun temurun oleh masyarakat desa Batu Songgan, mereka percaya bahwa batu ini adalah batu yang dibelah oleh Hulu Balang dari Kerajaan Majapahit yang masuk ke desa, bentuk  belahan yang sangat lurus dan simetris jika dilihat dari bagian depan secara keseluruhan menurut salah seorang peserta edu-trip nampak seperti ikan.
Cukup dengan melihat dan mengabadikannya lewat kegiatan photografi batu bolah tersebut berhasil kami bawa pulang dalam bentuk gambar dan tak terasa edu-trip inipun akan segera usai, padahal kami masih ingin menikmati indahnya alam di Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Batu Bolah adalah destinasi terakhir dalam perjalanan road to eco lifestyle Green Radio.

Berpiyau tak membuat peserta lelah, justru semakin lama semakin mengasyikan karena sejauh mata memandang adalah hutan-hutan yang rimbun, air yang jernih dan nyanyian alam yang tak henti-hentinya membuat kami bersyukur bahwa masih ada yang tersisa dari eksploitasi hutan yang terus menerus berlangsung sejak dulu hingga kini yang tidak diimbangi dengan penanaman kembali. Padahal setidaknya banyak orang menyadari bahwa hutan merupakan penopang kelestarian kehidupan di bumi, sebab hutan bukan hanya menyediakan bahan pangan maupun bahan produksi, melainkan juga penghasil oksigen, penahan lapisan tanah, dan menyimpan cadangan air.

Sampai Jumpa dalam Edu-Trip Green Radio Berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun