Dan qiyamu Ramadhan 20 rakaat wallahua'lam.
- Ibnu Qudamah (w. 620 H) menuliskan dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
وقِيامُ شهْرِ رمضان عِشْرُون ركْعة يعْنِي صلاة التراوِيح وهي سنّة مُؤكدة وأولُ منْ سنّها رسُولُ اللهِ
Dan qiyam bulan Ramadhan 20 rakaat yaitu shalat tarawih. Hukumnya sunnah muakkadah dan orang yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah SAW.
- Al-Buhuti (w. 1051 H) sebagai salah satu dari ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan dalam kitabnya, Ar-Raudh Al-Murabba' Syarah Zad Al-Mustaqni' sebagai berikut :
(والتراويح) سنة مؤكدة سميت بذلك لأنهم يصلون أربع ركعات ويتروحون ساعة أي: يستريحون (عشرون ركعة) لما روى أبو بكر عبد العزيز في الشافي عن ابن عباس: «أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كان يصلي في شهر رمضان عشرين ركعة» (تفعل) ركعتين ركعتين (في جماعة مع الوتر) بالمسجد أول الليل (بعد العشاء)
Dan tarawih hukumnya sunnah muakkadah, dinamakan tarawih karena mereka beristirahat sejenak tiap 4 rakaat. Jumlah 20 rakaat sebagaimana riwayat Abu Bakar Abdul Aziz di dalam Asy-Syafi dari Ibni Abbas bahwa Nabi SAW shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat. Dikerjakan dua rakaat dua rakaat dengan berjamaah ditambah witir di masjid pada awal malam setelah shalat Isya'.
Sebenarnya bagi kami Ahlussunah Wal Jama'ah yang berpegangan pada salah satu Imam dari Madzhab 4 yang tak lain adalah Generasi Salaf, tak ada masalah jika ada yang melakukan Tarawih 8 rakaat bahkan 2 rakaat pun juga tak masalah. Yang jadi masalah adalah ketika ada orang yang melakukan Shalat Tarawih 8 rakaat ditambah Witir 3 rakaat kemudian menganggap lebih dari itu adalah Bid'ah.
Pada dasarnya Shalat Tarawih sendiri tidak dibatasi oeh Rasulullah SAW, hanya saja ada sekelompok orang yang salah faham akan sebuah Hadits yang dianggapnya sebagai Shalat Tarawihnya Rasulullah, sedangkan yang berbeda dengan pemahamannya dianggap Salah dan Bid'ah. Baiklah untuk memperjelas seperti apa sebenarnya Shalat Tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi Sahabat di bawah pimpinan Khulafa' Ar-Rasyidin. Kemudian dilanjutkan oleh Generasi Tabi'in sampai pada masa Para Imam Madzhab, berikut ini adalah penjelasan rinci tentang hal tersebut:
Shalat Tarawih adalah termasuk Qiyamullail (menghidupkan malam dengan Ibadah) di Bulan Ramadhan, dan ini adalah termasuk Shalat Sunnah yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan Para Sahabat yang pada awalnya dilakukan sendiri-sendiri akan tetapi pada akhirnya dilakukan dengan cara berjama'ah.
عن السيدة عائشة رضي الله عنها قالت : ( إن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في المسجد فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة فكثر الناس، ثم اجتمعوا في الليلة الثالثة فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم، فلما أصبح قال: "قد رأيت الذي صنعتم ولم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني قد خشيت أن تفرض عليكم"). رواه البخاري (2012) وأبو داود (1373)
Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah r.a. beliau berkata: "Sesungguhnya Nabi SAW Shalat di Masjid kemudian diikuti orang-orang, kemudian Shalat lagi di malam berikutnya maka orang-orang yang Shalat semakin banyak. Kemudian di malam ketiganya orang-orang telah berkumpul (di Masjid) akan tetapi Rasulullah SAW tidak keluar. Ketika tiba di pagi harinya Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, (sebenarnya) tiada yang menghalangiku keluar kepada kalian melainkan aku takut Shalat Tarawih diwajibkan atas kalian". HR. Bukhari no. 2012 dan Abu Daud no. 1373.
Ketika para Sahabat mengetahui sebab tidak keluarnya Rasulullah SAW itu karena khawatir Shalat Tarawih itu diwajibkan kepada mereka bukan karena pada Qiyamullail tersebut ada pelanggaran secara Syariat, sehingga malam berikutnya para Sahabat tetap pergi ke Masjid dan melakukan Shalat di Masjid. Sebagian mereka ada yang Shalat sendirian dan sebagian ada yang berjama'ah dan hal ini berlangsung sampai pada masa pemerintahan Sayyidina Umar r.a.
Suatu ketika Sayyidina Umar r.a. memasuki Masjid dan menemukan mereka dalam jumlah yang banyak sehingga Masjid penuh sesak oleh Para Sahabat dan Tabi'in, dan setiap orang ada yang Shalat sendirian ada pula yang berjama'ah dengan temannya. Sayyidina Umar r.a. memandang hal ini dengan pandangan penuh wawasan terhadap keadaan mereka untuk mencarikan jalan keluar agar mereka lebih Khusyu'. Sehingga beliau memberi ketetapan dengan mengumpulkan mereka pada satu Imam yaitu Sayyidina Ubay Bin Ka'ab r.a. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sayyidina Abdurrahman Bin Abdulqori, beliau berkata: