Kompas.com Kamis, 15 April 2021 menuliskan pernyataan Edhy Prabowo demikian, "Saya dari awal ketika masuk sini, saya tidak bersalah. Cuma saya bertanggung jawab atas yang terjadi di kementerian saya, saya tidak akan lari dari tanggung jawab saya." Pernyataan ini merupakan tanggapan atas dakwaan tentang kasus korupsi Rp.25,7 Miliar di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Secara langsung, pernyataan tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah "Saya dari awal...." dan yang kedua adalah "Cuma saya bertanggung jawab ..." Mari kita tangkap dan tafsirkan apa yang ada di benak Edhy Prabowo di balik dua pernyataan tersebut.
Pernyataan pertama:
Sebagai pembaca awam (apalagi saya tak kenal Edhy Prabowo secara pribadi), saya menangkap adanya counter keras dari pihak Edhy Prabowo untuk meyakinkan publik bahwa semenjak dia masuk di Kementerian sampai terjadinya kasus suap itu, Edhy Prabowo menganggap kesalahan tidak terjadi di pihaknya.Â
Pernyataan ini tentunya sangat bombastis tetapi rentan kritik. Oke lah, asas praduga tak bersalah tetap kita jaga dalam konteks ini. Tetapi secara nalar, pernyataan itu sangatlah tidak masuk akal, apalagi ia seorang menteri pada waktu itu. Di dalam kementerian, menterilah yang memegang palu terakhir dalam pengambilan sebuah kebijakan.Â
Hanya masalahnya, jika seandainya kasus korupsi (suap) itu benar terjadi seperti yang didakwakan, sangat mustahil jika seorang menteri tidak mengetahuinya. Akhirnya, pernyataan pertama itu menjadi tidak relevan lagi. Seandainya pernyataa pertama itu dianggap sebagai pledoi dirinya, maka pernyataan itu akan sangat berat untuk dibuktikan.Â
Pengandaian kedua, bawahannya yang nakal dan menteri ketiban getahnya. Pengandaian ini pun sulit utuk dijadikan alibi bagi Edhy Prabowo. Klaim dirinya tidak bersalah akan sangat gampang dibantah oleh publik (apalagi oleh pengadilan). Jika pengandaian ini benar-benar terjadi, maka kemungkinan yang terjadi di lapangan (kementerian) adalah adanya sosok menteri yang tidak punya power apa-apa.Â
Dengan kata lain, secara kasar akan tampak stigma Menteri yang 'dikadalin' anak buahnya. Maka pertanyaaanya, apakah karakter kepemimpinan Edhy Prabowo selemah itu? Hmmm... pernyataan pertama itu pun akhirnya memberi kesan ke publik bahwa Edhy Prabowo itu ngotot, keras, tetapi mengesampingkan rasa malu.
Pernyataan kedua:
Hilangnya rasa malu (jawa: kadung isin / terlanjur malu) itu akhirnya ingin dipoles sedemikian rupa supaya seakan-akan Edhy Prabowo adalah Hero atas kasus yang membelitnya. Pernyataan ingin bertanggung jawab dan tak akan lari dari proses peradilan rasa-rasanya memang sangat gantleman. Hanya saja, pernyataan pertama tidak berfaedah sedikitpun untuk pernyataan keduanya. Jika dilihat dari struktur psikologi bahasanya, pernyataan pertama tak memberikan suport emosi apa-apa untuk pernyataan yang kedua.Â
Maka realitasnya akan berbicara sebaliknya. Sejatinya, seorang Hero akan menjalani setiap proses dengan lapang dada. Tetapi sebaliknya, kesan Hero yang diharapkan malah menjadi racun yang akan 'membunuh' karakternya sercara perlahan. Fakta persidanganlah yang akan membuktikan nantinya. Selama persidangan masih berlangsung, tetaplah kita junjung asas praduga tak bersalah. Tetapi di sisi yang lain, kita dapat belajar tentang komitmen murni.Â
Yang namanya Komitmen tidak akan pernah 'nempel' pada frase bernuansa negatif. Komitmen selalu bernuansa positif. Komitmen kita atas nama  kebenaran yang kita junjung akan selalu tampak melalui kebenaran dan kebaikan. Kalau kita yakin benar, maka kebenaran itu tidak akan pernah memanipulasi dirinya sendiri.
Salam Kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H