Pengantar
Tak dapat dipungkiri bahwa teknologi telah mengalami lonjakan kemajuan yang sangat pesat. Teknologi dapat dipahami sebagai sistem yang dibuat oleh manusia dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang terorganisasi, untuk menciptakan objek dan teknik dengan suatu tujuan tertentu. Teknologi yang diterapkan pada suatu benda akan meningkatkan kualitas dan mempermudah penggunaan dari benda tersebut. Dengan kata lain, teknologi terus berkembang dalam rangka menanggapi tantangan dan kebutuhan zaman.
Perkembangan teknologi tidak hanya berimplikasi pada diirnya sendiri (produk), tetapi juga menciptakan berbagai pola-pola kehidupan baru. Pola-pola kehidupan inilah yang nantinya dapat disebut sebagai "Kebudayaan" yang dihasilkan dan dikembangkan  dalam masyarakat tertentu yang sesuai dengan konteks dimana perkembangan teknologi itu muncul.Â
Sebagai sebuah asumsi awal, teknologi dan kebudayaan saling memberikan pengaruh satu dengan yang lainnya. Teknologi dalam perjalanannya dapat menciptakan kebudayaan yang baru, juga sekaligus kebudayaan tertentu akhirnya juga memicu tumbuh berkembangnya teknologi.
Paper atau makalah singkat ini, kemudian hendak mengerucutkan kembali keadaan saling mempengaruhi (kebudayaan-teknologi) tersebut ke dalam sebuah tema khusus yang mengulas tentang Media Sosial.[1] Mengapa penulis tergelitik untuk membahas keterkaitan antara media sosial dengan tumbuhnya kebudayaan dalam suatu masyaarakat atau komunitas tertentu? Pemicunya adalah karena muncul sebuah kritikan dalam masyarakat: "media sosial: mendekatkan yang jauh; dan sekaligus menjauhkan yang dekat".
Â
Budaya Negatif: Pribadi Anonim
Media masa memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada netizen (warga internet) untuk mengeksplorasi segala susuatu. Dapat dikatakan, batas moralitas di dalam dunia internet sudah tidak lagi diperhitungkan.Â
Setiap orang dapat surfing (berselancar) ke berbagai tempat tanpa batas. Ia dapat mengakses data apapun itu, entah baik ataupun buruk. Ia dapat menikmati segala kesenangan di dalamnya, sendirian, tanpa perlu memegang teguh sebuah komitmen tertentu. Ia menikmati kesendiriannya itu, mengasingkan diri, dan akhirnya menjadi anonim. Beberapa filsuf terkenal menamainya sebagai 'keterasingan dengan dirinya sendiri'.
Anonimitas (Yunani: ano-nymia), yang berarti "tanpa nama" atau dalam Inggris unnamed atau namelessness biasanya mengacu kepada seseorang. Sering juga berarti bahwa identitas pribadi atau informasi identitas pribadi orang tersebut tidak diketahui. Anonimitas dalam konteks paper ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu anonimitas sebagai sebab dan anonimitas sebagai akibat. Anonimitas inilah yang akhirnya disinyalir menjadi budaya baru dan berekspansi dari dunia internet menuju dunia nyata.
Sebagai netizen, seseorang dapat mengambil peran positif atau pun negatif. Ia dapat menampakkan siapa dirinya yang sebenarnya, tetapi juga dapat memakai topeng tertentu sehingga netizen yang lain tidak dapat mengenalinya secara personal. Hal ini memunculkan tantangan sekaligus permasalahan yang baru dalam kehidupan berbudayanya seorang manusia terhadap manusia yang lain.