Semakin berkembang pesatnya ilmu pengetahuan maupun teknologi telah mendorong terciptanya pola-pola baru dalam hubungan Internasional. Adanya globalisasi telah memaksa setiap negara untuk berinovasi dan bisa mengikuti arus perubahan yang terjadi. Globalisasi juga telah membawa perubahan pada interaksi antar individu maupun negara. Sebagai contoh, Individu bisa saling berkomunikasi melalui virtual tanpa harus bertemu satu sama lain. Komunikasi tidak lagi terhalang oleh batas antar negara, hal ini  menyebabkan batas teritorial menjadi semakin tidak terlihat. Saat ini, negara juga menggunakan digital dalam menjalankan pemerintahannya. Ketergantungan terhadap infrastruktur siber menimbulkan ancaman keamanan di ruang siber (Assegaf, 2020).
Apa itu ruang siber?
Menurut KBBI, ruang siber adalah ruang maya sebagai tempat masuknya data-data elektronik. Ruang maya (cyberspace) dapat dipahami sebagai ruang bagi setiap orang untuk melakukan aktivitas sosial seperti bermain, berkomunikasi dan lain sebagainya dengan mengandalkan peran teknologi. Di dalam cyberspace, selain interaksi antar individu juga telah melibatkan interaksi antar aktor hubungan Internasional dengan tujuan mencapai kepentingan nasional. Meningkatnya eskalasi interaksi baik itu antar individu maupun negara semakin memperbesar peluang ancaman di ruang siber.
Keamanan di ruang siber menjadi prioritas para aktor hubungan Internasional. Hal ini karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang ditimbulkan akibat ketergantungan infrastruktur siber. Salah satunya ialah ancaman perang siber. Perang tidak hanya terjadi di medan fisik namun juga bisa terjadi di ruang maya. Hal ini serupa dengan pendapat Toure Hamadoun, Kepala Badan Telekomunikasi PBB yang menyatakan bahwa perang bisa terjadi di ruang maya.
Mengapa perang siber berbahaya?
Perang siber atau cyber warfare telah menjelma menjadi mandala perang baru yang harus dihadapi oleh para aktor hubungan Internasional. Telah terjadi transformasi medan perang yang awalnya berupa fisik sekarang beralih ke media global dan ruang-ruang siber. Michael Sheehan berpendapat bahwa battlefields telah bertransformasi menjadi battlespace dengan melibatkan pemakaian satelit ruang angkasa, kekuatan udara serta cyberspace dan gelombang komunikasi (Faida, 2015).
Cyber warfare dapat dipahami sebagai perang yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi yang dalam pelaksanaannya menggunakan jaringan komputer dan internet serta terjadi di cyberspace dalam bentuk strategi pertahanan maupun menyerang sistem informasi musuh. Cyber warfare merupakan kelanjutan dari cybercrime dan cyberattack (Tampubolon, 2019).
Cyber warfare dalam metode penyerangannya berbeda dengan metode yang dipakai dalam perang konvensional. Pelaku cyber warfare biasanya menggunakan world wide web atau www dalam melakukan perang di ranah siber. Para pelaku akan saling menyerang dan bersaing dalam menguasai, menghentikan komunikasi serta melakukan segala tindakan yang dapat merugikan pihak lawan. Adapun beberapa metode penyerangan cyber warfare (Said, 2010):
a. Pengumpulan informasi. Aksi mengumpulkan informasi diperoleh dengan cara spionase. Â Para pelaku menggunakan metode eksploitasi secara ilegal melalui jaringan, perangkat lunak dan internet untuk mencuri informasi rahasia lawan.
b. Vandalisme. Para pelaku cyber warfare akan merusak halaman web dan merusak sumber daya komputer lawan dengan menggunakan serangan denial-of-service. Serangan deface sering terjadi dalam bentuk propaganda maupun pesan politik yang kemudian di distribusikan melalui pesan teks, email dan lain sebagainya.
c. Sabotase. Sabotase dilakukan oleh militer dengan tujuan mengetahui koordinat lokasi dari peralatan musuh. Bentuknya bisa berupa penyadapan informasi maupun gangguan fungsi peralatan komunikasi sehingga dapat berdampak terhadap terganggunya infrastruktur transportasi, air, sumber energi, bahan bakar dan lain sebagainya.
d. Penyerangan terhadap jaringan listrik. Para pelaku cyber warfare juga melakukan serangan dengan menyerang jaringan listrik lawan. Bentuk serangannya berupa pemadaman listrik sehingga berdampak terhadap aktivitas perekonomian. Selain itu, serangan ini dapat mengalihkan perhatian terhadap serangan militer lawan dan berakibat pada trauma nasional. Untuk mengendalikan infrastruktur listrik lawan, pelaku cyber warfare menggunakan serangan trojoan horse.
Mengenai pertanyaan mengapa perang siber berbahaya? Mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno menjelaskan bahwa perang siber dapat memberikan dampak yang lebih luas dari perang fisik yakni terganggunya ideologi, politik, budaya, ekonomi serta pertahanan dan keamanan negara.
Lebih lanjut, perang siber juga memiliki implikasi serta pengaruh dalam dinamika politik maupun keamanan Internasional kontemporer. Sebagai contoh, Israel yang menyerang siber Iran hingga mengakibatkan lumpuhnya fasilitas nuklir milik Iran. Iran melaporkan bahwa sistem pengendali pembangkit listrik yang menyokong laboratorium uranium dipadamkan paksa pada tanggal 4 November 2021. Hal ini kemudian berdampak terhadap sentrifuga IR-1 mengalami kerusakan. Selain itu, perang siber antara Rusia dan Georgia juga bisa kita jadikan acuan untuk melihat betapa kompleksnya dampak perang siber. Serangan siber Rusia berhasil mengacak-acak lebih dari 2.000 situs web Georgia. Serangan tersebut telah menggangu berbagai aktivitas di Georgia. Salah satunya, dua stasiun televisi utama Georgia tidak bisa menyiarkan siaran langsung (Michico, 2019).
Ancaman siber tidak hanya membahayakan individu tetapi juga dapat berdampak terhadap kedaulatan negara. Aktivitas transaksi ekonomi, perbankan, pengendalian persenjataan, penggunaan transportasi, sosial media semuanya menggunakan teknologi dan internet serta saling terkoneksi sehingga sangat rentan dari serangan siber.
Bagaimana menghalau ancaman perang siber?
Menyadari adanya bahaya cyber warfare dalam kehidupan global telah memunculkan cyber defense sebagai tameng pertahanan siber setiap negara. Cyber defense merupakan upaya guna menanggulangi serangan siber yang dapat mengganggu penyelenggaraan pertahanan negara. Sudah ada banyak negara yang membentuk berbagai pasukan khusus seperti cyber naval, cyber army, cyber air force, cyber force, cyber military, dan cyber troops. Negara memiliki unit khusus seperti Amerika Serikat yang punya (US CYBERCOM) United States Cyber Command. Israel juga diketahui memiliki Unit 8200 khusus menangani cyber warfare. Selain itu, ada juga Inggris memiliki (CSOC) atau Cyber Security Operations Centre (Soewardi, 2013).
Negara sebagai aktor utama harus mengembangkan pengamanan dan meningkatkan kekuatan di ruang siber dengan tujuan menghalau ancaman kejahatan siber. Dalam hal ini, penulis menggunakan Tiongkok dalam melihat strategi cyber defense.
Dari hasil laporan Lembaga Statistik China Internet Network Information Center (CNNIC), ditemukan bahwa pengguna internet di Tiongkok mencapai angka 1,011 miliar. Angka ini di dapat pada bulan Juni 2021 dan terus meningkat karna dampak pandemi. Pengguna media sosialnya pun beragam. Dari jumlah seluruh data, sebanyak 28% pengguna merupakan kategori usia sekitar 34-50 tahun ke atas. Pengguna internet di daerah pedalaman Tiongkok mencapai angka 297 juta dan untuk pengguna jaringan 5G berada di angka 392 juta (Clinten, 2021).
Pengguna media sosial di Tiongkok berdasarkan data dari CNNIC menghabiskan waktu di dunia maya selama 26,9 jam per minggu. Para pengguna media sosial yang memanfaatkan layanan pengantar online meningkat menjadi 469 juta. Pada layanan ride-hailing, pengguna meningkat hingga 395 juta. Selain itu, di layanan kesehatan online juga terjadi peningkatan pengguna hingga 239 juta.
Dalam penggunaan aplikasi hiburan seperti Douyin juga meningkat hingga 943 juta pengguna. Jumlah pengguna yang menikmati live streaming menyentuh angka 637 juta pengguna.Aplikasi WeChat pemegang tahta tertinggi dengan 983 juta pengguna. Dalam aktivitas ekonomi, jumlah pengguna yang memanfaatkan e-commerce meningkat hingga mencapai 812 juta pengguna yang diiringi dengan jumlah pengguna e-payment yang mencapai angka 872 juta pengguna.
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa adanya peningkatan dalam penggunaan teknologi dan internet di Tiongkok. Hal ini tentu semakin memperbesar peluang ancaman siber. Tiongkok memanfaatkan cyber warfare sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasionalnya sekaligus telah mengembangkan dan menyiapkan pertahanan agar terhindar dari serangan cyber warfare.
Â
Strategi cyber defense Tiongkok
Dalam menghadapi bahaya perang siber atau cyber warfare, salah satu strategi cyber defense yang dilakukan Tiongkok adalah kebijakan sensor internet. Kebijakan Pemerintah melakukan kebijakan sensor internet tidak lepas dari adanya pengaruh semakin majunya internet dan teknologi serta permasalahan baru yang dibawanya. Ketika internet pertama kali dikenalkan di Tiongkok, ada masyarakat yang pro maupun yang kontra. Bagi masyarakat kontra, mereka khawatir masuknya internet akan membawa nilai-nilai barat dan bisa mengganggu ideologi Tiongkok. Dikarenakan ketakutan inilah pemerintah Tiongkok pada tahun 1993 menetapkan kebijakan sensor ketat terhadap internet dengan cara membatasi penggunaan internet di beberapa lembaga penelitian dan pendidikan.
Tiongkok mulai membangun infrastruktur jaringan internet pada tahun 1994-1997. Tiongkok membangun 4 jaringan utama komunikasi yakni China Science Academy Network, CHINANET, Golden Bridge Network dan Kementerian Industri Informasi. Adanya jaringan internet ini membuat kebijakan sensor internet di Tiongkok mulai longgar. Dalam membatasi sensor internet, Pemerintah Tiongkok menggunakan Regulasi dan Undang-Undang sebagai landasan. Regulasi yang digunakan ada dua, yakni Temporary Regulation for the Management of Computer Information Network International Connetion dan Ordinance for Security Protection for Computer Information Systems.
Ada beberapa kebijakan baru yang dibuat oleh Tiongkok berkaitan dengan sensor internet. Pertama, menuntut WTO melakukan peninjauan terhadap isi perjanjian WTO dalam perlindungan internet. Kedua, dalam menyusun cyber proposal, Tiongkok melakukan aliansi dengan Rusia. Ketiga, Pemerintah Tiongkok memblokir halaman web di internet apabila web tersebut dapat membahayakan kedaulatan negara. Keempat, Pemerintah Tiongkok menyalahkan program penyadapan yang dibentuk oleh Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris dan Amerika Serikat.
Lembaga cyber defense
Permasalahan cyber warfare di tangani oleh negara salah satunya dengan membentuk unit-unit khusus. Tiongkok memiliki satuan militer yang sangat kuat dengan nama PLA atau People Liberation Army. PLA mendirikan unit khusus yang menangani keamanan jaringan militer Tiongkok dengan nama Blue Army. Tiongkok membentuk Blue Army karena dua faktor. Pertama, adanya berbagai jenis kasus cybercrime di Tiongkok. Beragamnya cybercrime di Tiongkok tentu dapat membahayakan kedaulatan Tiongkok karena meningkatnya eskalasi cybercrime dapat berkembang menjadi cyber warfare. Kedua, faktor keamanan politik. Keamanan politik suatu negara baik di tingkat domestik maupun Internasional akan terganggu stabilitasnya bila tidak di buat pertahanannya. Dalam hal ini, Tiongkok mempertahankan keamanan politiknya dari serangan siber dengan mengandalkan Blue Army.
Setiap negara mempunyai kepentingan nasionalnya masing-masing. Di era digital ini, negara mulai memanfaatkan teknologi dan internet sebagai alat untuk mencapai kepentingannya. Cyber warfare sebagai contohnya. Banyak negara yang memanfaatkan cyber warfare demi kepentingan negaranya. Sebagai contoh, Tiongkok yang memanfaatkan cyber warfare dalam melawan AS. Sisi buruknya, cyber warfare memiliki dampak yang sangat kompleks apabila negara tidak punya pertahanan siber yang kuat. Negara perlu cyber defence dalam menangkal segala ancaman siber.
Bibliography
Assegaf, H. I. (2020). Cyber Diplomacy: Menuju Masyarakat Internasional Yang Damai Di Era Digital. Padjajaran Journal of International Relations (PADJIR), 312.
Clinten, B. (2021, Agustus 30). Pengguna Internet China Tembus 1 Miliar. Retrieved November 30, 2021, from KOMPAS.COM: https://tekno.kompas.com/read/2021/08/30/07050047/pengguna-internet-china-tembus-1-miliar
Faida, R. E. (2015). Sensor Internet dan Securitization di Era Cyberwarfare: Studi Kasus Tiongkok. Jurnal Hubungan Internasional, 31-32.
Michico, N. R. (2019, October 29). Kena Serangan Siber, 2.000 Situs Web Georgia Diretas Termasuk Punya Presiden. Retrieved November 30, 2021, from iNews.id: https://www.inews.id/news/internasional/kena-serangan-siber-2000-situs-web-georgia-diretas-termasuk-punya-presiden
Said, F. (2010, Agustus 29). Konsep Cyber War. Retrieved November 30, 2021, from Wordpress: https://fairuzelsaid.wordpress.com/2010/08/29/cyber-law-konsep-cyber-war/
Soewardi, B. A. (2013). Perlunya Pembangunan Sistem Pertahanan Siber ( Cyber Defense ) yang tangguh bagi Indonesia. MEDIA INFORMASI DITJEN POTHAN KEMHAN, 33-34.
Tampubolon, K. E. (2019). Perbedaan Cyber Attack, Cybercrime, dan Cyber Warfare. Jurist-Dition Vo. 2 No. 2, 546-547.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H