Mohon tunggu...
Dan Jr
Dan Jr Mohon Tunggu... Lainnya - None

私の人生で虹にならないでください、私は黒が好きです

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Membatasi Karya Seni?

24 Mei 2022   01:27 Diperbarui: 24 Mei 2022   01:38 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya seni adalah sebuah hasil kerja seseorang yang dibuat untuk dinikmati orang lain, atau sekedar sebagai pemuas hasrat diri. 

Yang menarik adalah, fenomena ketika zaman semakin berkembang, negara kita justru mundur dalam kebebasan berekspresi. Terlebih bila kita kemudian bicara tentang seni pentas yang ditampilkan di televisi nasional. 

Kemunduran ini terasa kurang lebih sejak belasan tahun kebelakang. Dimana prilaku pelaku hiburan mulai mendapat cibiran sana -- sini, saat niat mereka sebenarnya hanya untuk memberikan hiburan.

Bisa dikatakan awal dari pembatasan karya seni di Indonesia, dimulai sejak Republik ini geger akan photo bertema Adam dan Hawa dengan tajuk Urban/Culture di Museum Bank Indonesia pada tahun 2005 lalu. Gambar yang menampilkan aktor kawakan Anjasmara bersama Isabel Yahya ini mendapat protes keras dari Front Pembela Islam kala itu.

Satu tahun kemudian, Nadine Chandrawinata sebagai Putri Indonesia 2004, juga mendapatkan cemoohan luar biasa ketika memutuskan untuk mengenakan bikini two pieces dalam ajang internasional Miss Universe 2006. Lebih lanjut, ditahun yang sama, Playboy Indonesia resmi meluncur, yang semakin membuat gerah kaum agamis tanah air.

Kejadian -- kejadian tersebut pada akhirnya melahirkan sebuah undang -- undang yang bukan hanya mencekik kebebesan berekspresi, namun juga menjerumuskan kegiatan seni Indonesia jatuh lebih dalam. 

Undang -- undang pornografi dan pornoaksi lahir pada tahun 2008, membuat Lembaga Sensor Indonesia dibebankan pekerjaan rumah cukup panjang dalam tugasnya.

Awalnya, adegan yang dianggap tidak pantas, atau kostum yang dianggap terlalu terbuka menjadi korban blur di televisi, kemudian tindakan ini menjadi sedikit berlebihan ketika serial kartun ikut -- ikutan terkena dampak. 

Sebut saja komentar miring yang seringkali kita dengar mengenai Shizuka (salah satu karakter di serial Doraemon) atau Sandy (SpongeBob) yang juga kena blur dalam tayangannya.

Perjalanan layar perak Indonesia semakin menemui titik gelap, ketika isu transeksual menjadi bahan olok -- olok. Televisi kemudian dilarang untuk menampilkan karakter laki -- laki yang menyerupai perempuan, atau sebaliknya. Seolah -- olah bangsa ini lupa jauh sebelum dunia hiburan berkembang, kita sudah mengenal Tesi Srimulat atau Aming yang menjadi ikon Extravaganza.

Akhirnya kita dipertemukan pada lawakan -- lawakan bodoh, saling menghina atau bahkan menggunakan kekonyolan fisik di layar kaca. Keberadaan menghidupkan kembali lawak tunggal seperti Stand Up Comedy Indonesia yang di pelopori Kompas Tv sedikit memberi ruang bagi dunia hiburan tanah air. 

Masalahnya kemudian, ketika para stand up comedian mulai berkomentar tentang kondisi politik dan sosial, segera menjadi bahan serangan oleh mereka yang merasa diganggu kenyamanannya. Tidak heran, bila akhirnya bahkan Stand Up Comedian pun diharuskan berhati -- hati dalam berucap bahkan dalam acara off air.

Lalu muncul sebuah pertanyaan. Haruskah kita benar -- benar membatasi sebuah karya seni. Maksudnya, para seniman tanah air pasti sudah mengetahui konsumennya. Belum lagi kalau kita bahas tentang pengaturan jam tayang televisi yang sebenarnya tidak terlalu rumit untuk dilakukan.

Dengan pengaturan jam tayang, sesungguhnya mengekang kebebasan berekspresi dapat dihindari. Kita akan sulit percaya apabila ada pelaku hiburan yang memutuskan untuk menampilkan adegan -- adegan "tak patut" untuk tayang pada pukul 12.00 siang sampai 19.00 malam. Bukankah alasan yang sama, sehingga lawakan seperti Srimulat dan Extravaganza akan tayang setidaknya pada pukul 21.00 malam.

Menjadi sebuah bukti nyata bias dilihat saat ini. Saat internet berkembang begitu cepat, dan dunia hiburan seperti serial televisi pindah ke platform digital. 

Menariknya, serial -- serial di platform digital tersebut laku keras di pasaran meski harus kita akui terdapat banyak adegan yang bisa dikatakan diperuntukkan bagi penonton "dewasa".

Serial -- serial digital ini menerobos tabu yang diciptakan selama belasan tahun terakhir. Seolah membasuh hasrat penikmat hiburan yang sudah haus akan hiburan sesungguhnya yang tidak melulu bercerita tentang perebutan harta atau menyoal kesenjangan ekonomi dalam percintaan.

Kemudian kita dibutuhkan untuk memutuskan, hiburan seperti apa yang kita inginkan. Karya seni seperti apa yang sesungguhnya kita rindukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun