Semua orang bisa menulis, adalah fakta yang tak terbantahkan. Apakah setiap orang menggunakan kemampuannya tersebut atau tidak, itu urusan lain.
Yang jelas, sejak duduk dibangku dasar, kita sudah diajarakan untuk bercerita. Tugas mengarang bebas, misalnya sewaktu masih berseragam putih merah dulu, adalah bukti kalau sebenarnya menulis memang suatu kegiatan yang seharusnya menyenangkan.
Saya sendiri, memiliki hobi menulis sejak duduk dibangku SMP. Waktu itu, saya lebih suka menulis puisi yang memang terkesan lebih ringan daripada harus menulis cerpen apalagi novel.
Hobi menulis, memaksa saya menerima anugerah hobi lain yaitu membaca. Hampir setiap bulan, semasa sekolah dulu saya menghabiskan setengah dari uang saku untuk membeli buku. Sebagian dari buku -- buku tersebut bahkan belum dibuka plastiknya sampai saat ini.
Perjalanan hidup yang menambah usia, membawa saya tidak sekedar ingin menjadi seorang yang terjebak dalam sajak -- sajak menyedihkan.
Pada tahun 2012, saya bergabung dengan kompasiana. Padahal waktu itu, seorang kerabat menyarankan saya untuk bergabung di platform blog dari media lain yang ada di Indonesia.
Di Kompasiana, jelas banyak bahan bacaan yang bisa disantap. Imajinasi yang super kreatif dari para penulis fiksi, atau sudut pandang berbeda mengenai satu hal dari para penulis faktual memberikan saya wawasan lebih. Akhirnya, membaca dan menulis adalah kombinasi sempurna mirip kafein dan nikotin yang saya santap setiap pagi.
Perlahan, hobi ini menjadi sebuah candu. Tidak menulis sehari, kepala menjadi panas sebab terlalu banyak gagasan yang ingin dituangkan diatas kertas putih tak bernoda itu.
Meski sempat berhenti menulis dikompasiana selama tiga tahun, bukan berarti saya benar -- benar berhenti menulis. Tetap saja, selama tiga tahun tersebut, ditengah kesibukan, saya mencoba untuk menulis sebuah novel.
Hasilnya? Gagal! Tak ingin ide -- ide dalam novel itu mejadi sia -- sia, akhirnya pada februari lalu saya kembali pada kompasiana, dan memecah novel tersebut menjadi cerpen.