"yang ingin aku katakana adalah aku adalah pria dengan usia tiga puluh lima tahun, aku tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri"
Pembicaraan itu berhenti disana, Dimas tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata ketika ayahnya memutuskan untuk pergi tanpa harus menyelesaikan diskusi singkat mereka.
Ayah Dimas adalah seorang pengacara kondang, namanya terkenal nyaris tidak pernah kalah sepanjang karirnya. Atas dasar yang sama, Dimas dituntut untuk menjadi ahli hukum seperti ayahnya. Tapi, Dimas tidak benar -- benar punya gairah untuk menghabiskan sisa hidupnya di persidangan.
"ambil jurusan hukum, atau kau tidak berkuliah sama sekali" kata ayahnya waktu itu.
"baiklah, aku memilih untuk tidak pernah mengenal universitas" Dimas menantang
"tanpa gelar sarjana, mau jadi apa kau? Kau mau melihat ayahmu ini mati?" ayahnya kembali menyerang dengan sedikit ancaman.
Dimas menyerah, remaja baru lulus sekolah menengah itu akhirnya terjebak didunia kampus yang melatihnya untuk menunjukkan kesalahan orang lain.
Lulus sarjana, Dimas akan memilih untuk mengajar disebuah sekolah menengah pertama. Dia lari dari rumah, mencoba kabur dari sang ayah. Demi mendapatkan si bungsu kembali, pria paruh baya itu menjanjikan banyak hal, terkadang memberi sebuah ancaman. Dimas pasrah, dia kembali.
Tapi ego seorang ayah selalu terlalu besar untuk diruntuhkan anak -- anak mereka. Alih -- alih mengatakan lakukan apa yang kau mau, mereka justru membangun jeratan agar anak -- anak itu terjebak pada apa yang ayahnya mau. Dimas berakhir menjadi pengacara, tidak terlalu sukses tapi juga tidak buruk sebagai modal awal karirnya. Tapi Dimas tidak betah, dia hanya ingin membangunkan gairah yang dibunuh oleh ayahnya, bermusik.
Siang tadi, Dimas kalah dalam sebuah persidangan. Ayahnya murka, mencoreng citra baik keluarga akan kasus sepele katanya. Kedua saudaranya yang juga advokat ikut mengutuki kegagalannya dan Dimas hanya menanti saat dirinya untuk berbicara. Lalu, hari menjadi sangat gelap. Rembulan hilang ditelan awan pertanda hujan akan menghiasi awal November itu. Dari luar kamar Dimas terdengar sesuatu yang terjatuh begitu keras. Semua orang dirumah mewah itu tergopoh mencari sebab. Terlambat! Dimas tewas tergantung dengan senyum paling puas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H