Mohon tunggu...
Dan Jr
Dan Jr Mohon Tunggu... Lainnya - None

私の人生で虹にならないでください、私は黒が好きです

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru, Mengapa Harus Begitu Rumit?

17 November 2018   15:29 Diperbarui: 17 November 2018   15:33 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya hidup memiliki dua orang bibi dengan profesi guru, dua sepupu saya juga adalah guru. Satu diantara mereka masih berstatus guru honorer.

Selain itu, saya mengenyam pendidikan di dua sekolah swasta. Saat duduk dibangku SMP, tidak terlalu buruk sebab selain mendapatkan gaji di sekolah para guru kami tampaknya diberi tunjangan lain dari yayasan yang berafiliasi dengan gereja.

Ketika di SMA, telebih saat itu saya adalah pengurus OSIS, saya menghadapi kenyataan pahit seorang guru swasta. Terlebih mereka yang mengajar di sekolah swasta teruntuk siswa -- siswa berasal dari keluarga kurang mampu.

Bayangkan saja, pihak sekolah hanya mampu memberi imbalan tidak sampai satu juta rupiah pada tahun 2007an dan terus berlangsung sampai sekitar 2011an. Tidak jarang para guru harus mengambil pekerjaan ditempat lain, karena mengajar di satu sekolah saja tidak cukup untuk kebutuhan hidup mereka.

Kita baru bicara menyoal materi, belum lagi tentang hal -- hal diluar yang tidak bisa dihitung dengan rupiah bahkan dollar sekalipun. Sembilan tahun dibesarkan oleh seorang guru, saya melihat betapa bersusah payahnya mereka mendidik anak bangsa.

Jam enam tiga puluh mereka sudah harus berada disekolah untuk menyambut para siswa. Kalau ada waktu mereka menyempatkan pulang kerumah bagi yang wanita mempersiapkan makan siang untuk keluarganya, kemudian kembali lagi ke sekolah untuk mengajar.

Di samping itu, seringkali para guru harus membawa pulang hasil ulangan para siswa sebab waktu yang tidak cukup bila kertas -- kertas itu diperiksa di sekolah.

Bagi mereka yang punya status wali kelas, lebih berat. Mereka juga harus membawa raport siswa untuk ditandatangani dirumah lalu keesokan paginya dibawa kembali ke sekolah.

Selain itu, bukan hal yang aneh bila seorang guru harus kedatangan orang tua/wali murid kerumah mereka. Sekedar minta saran untuk mendidik penerus bangsa itu, atau justru karena masalah lain. Atau bahkan guru harus bersedia menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah siswa mereka ketika ada masalah lain yang lebih kompleks.

Tidak sampai disana, guru juga bertanggung jawab atas moral dan perilaku anak -- anak yang tidak lahir dari Rahim mereka. Bahkan, tindak kekerasan tampaknya terkadang harus dilakukan para guru sebab anak -- anak yang nakal diluar kewajaran. Dewasa ini, yang terjadi justru seratus delapan puluh drajat terbalik.

Para guru tidak berani benar -- benar mendidik para pelajar, sebab khawatir para orang tua akan murka dan membawa persoalan ke jalur hukum.

Yang lebih ironis, bahkan guru itu sendiri menjadi korban tindak kekerasan. Kemudian kita seringkali menuntut profesi guru seharusnya "berbuat lebih" untuk mencerdasakan anak bangsa?

Mungkin ini akan menjadi sangat personal ketika melihat latar belakang saya. Tapi bukankah memang seharusnya seluruh guru di Indonesia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil tanpa memandang status dimana mereka mengajar. Bukankah kalaupun para guru itu mengajar di sekolah swasta, tetap saja yang dididik adalah anak bangsa.

Coba tengok saja, berapa banyak yang menjadi dokter, polisi, praktisi hukum bahkan anggota DPR (mungkin Bupati -- Gubernur) yang adalah alumni sekolah swasta. Lalu, setelah harus mendidik anak -- anak kita, mengapa para guru harus "ujian" lagi hanya untuk meningkatkan status dan kemampuan hidup mereka. Bukankah Negara seharusnya bertanggung jawab atas kehidupan para guru.

Kita semua paham, bahwa untuk menjadi guru pada tahun -- tahun ini haruslah seorang sarjana. Bahkan, mereka yang sudah puluhan tahun menjadi guru sebab sebelumnya bersekolah menengah dengan kejuruan keguruan harus kuliah lagi di masa tua mereka.

Belum lagi ada persyaratan sertifikasi yang benar -- benar melelahkan. Sepenting itukah sebuah sertifikat di negeri ini untuk bisa membawa para generasi muda meraih mimpinya.

Maksud saya, baiklah anda bisa saja mengatakan guru seharusnya adalah orang yang kompeten. Tapi saya tidak melihat ada alasan khusus sebuah sekolah menerima para guru baru tanpa kompetensi khusus.

Pertanyaannya, haruskah kita terus menerus memperkarakan apa yang harus dilakukan untuk menjadi seorang "guru yang benar" ketika mereka berjuang mencerdaskan kita semua?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun