Sepuluh tahun lalu, ketika ayah akhirnya memutuskan aku harus pindah sekolah. Bukan karena kenakalan remaja, bukan pula sebab kepindahan tugas ayah. Aku, yang terlalu menyimpan tidak punya teman di sekolah.Kawan – kawan yang lebih sibuk berteriak soal ayah yang dua kali menikah. Aku nyaris tidak perduli, kemana ayah akan membawa aku pergi. Aku tahu, bahwa keputusan ayah adalah sesuatu yang kelak akan aku syukuri.
Di sekolah menengah baru, aku baru berusia tiga belas untuk pertama kali kagum pada seorang wanita. Gadis yang pada akhirnya aku tahu, dipuja oleh seluruh sekolah terutama kaum pria. Seorang yang mengenalkannya padaku tidak lain adalah teman baruku, kekasihnya. Tapi, aku sudah jatuh cinta, bukan pada pandangan pertama. Aku menginginkannya ketika sebuah pertemanan berubah menjadi sahabat, tapi aku sadar kami saling tidak ingin terluka.
Jangan katakan ini cinta monyet semata, sebab pada akhirnya dialah satu – satunya wanita yang membuatku jatuh didalam rasa. Satu – satunya dalam sepuluh tahun, tidak lain hanya ada dia wanita yang membuat hati ingin selalu disentuh cinta. Persahabatan dia dan aku, terkurung dalam waktu. Entah sudah berapa siswa pria yang menjadi kekasihnya waktu itu. Tapi satu – satunya yang selalu ada disampingnya hanyalah aku. Sampai akhirnya ku sebut kata itu. Rasa yang sudah terlalu lama diam menunggu.
Dia dan aku menjadi sepasang kekasih pada kelas sembilan. Setelah dua setengah tahun menanti, akhirnya aku diberi sebuah kesempatan. Seisi sekolah berpura – pura tidak mendapat kejutan. Karena beberapa bulan sebelumnya, Dia dan aku terpisah oleh sebuah pertengkaran.
Perjalanan cinta yang cukup serius untuk ukuran remaja. Aku sudah mengenal ayah, ibu dan seisi keluarganya. Sang ayah bahkan menyarankan dia dan aku untuk melanjutkan sekolah bersama. Sang ibu sudah bermimpi kalau dia dan aku tinggal bersama. Hanya butuh waktu tiga minggu, saat dia dan aku menyadari bahwa bukan hubungan ini yang kami inginkan sebenarnya. Lalu dia dan aku memutuskan sesuatu yang membuat luka pada kedua keluarga. Aku datang untuk mengembalikan putri tercinta.
Waktu berjalan begitu cepat
Kita berdua hilang ditelan senja
Kau akhirnya memilih pria yang tepat
Saat aku sibuk menyembuhkan luka
Empat tahun berselang, aku yang melanjutkan sekolah menengah atas di Jakarta kembali pada kampung halaman. Ketika itu, aku adalah seorang mahasiswa jurusan hukum. Satu – satunya bidang pendidikan yang dia dan aku inginkan. Cerita cepat beredar, sang pria kembali meski untuk sesaat. Dia datang memberi pengumuman, akan menikah dalam waktu singkat. Aku jatuh, tersungkur, terjermbab dalam kegelapan. Bukan hanya karena aku masih mencintanya, tapi bagaimana dengan mimpinya, apa yang akan dia lakukan dalam sisa hidupnya. Sebagai ibu rumah tangga, sama sekali tidak pernah menjadi topik pembahasan kami sebelumnya.
Aku memaksakan diri untuk menginjakkan kaki di acara itu. Dia terlihat anggun seperti pertama kali kami bertemu. Dari pelaminan sesekali dia menatapku. Aku berpikir, seandainya saja yang duduk disebelahnya adalah aku.
Namun, kisah pertemuan pertama dia dan aku sudah sepuluh tahun berlalu. Kisah pernikahannya pun sudah mulai sejak enam tahun lalu. Dia dan aku masih sering bertemu, sebagai sahabat yang tidak akan pernah berpisah dan selalu berusaha menikam waktu.
Kini, aku duduk berhadapan dengannya… dan suaminya. Hanya sebuah meja kayu sebagai pemisah, seolah mengingatkan kami pada jarak yang semestianya. Kami bercengkerama seperti biasa. Mataku tidak bisa berhenti memperhatikannya. Terlebih saat dia mulai bercerita tentang cerita – cerita konyol tentang aku kepada seorang pria disebelahku, kekasihku.
Kemudian kita tertawa
Hanyut dalam masa lalu yang ingin bercerita
Aku tahu, kau mencintaiku dan dia
Kau tahu, aku mencintaimu dan ia
Dia yang adalah pendamping hidupmu
Ia yang penyembuh luka bagiku
Medan, 12 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H