Kehebohan Paskibraka belum juga mereda, setelah kontroversi Gloria yang belum WNI menjadi capaska Nasional, kemudian terjadi insiden kecil di kecamatan Siantar yang menjadi sorotan. Insiden yang terjadi adalah, Bendera Merah Putih tidak digerek sampai ke puncak tiang, saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Sebelumnya, saya sudah menulis tentang insiden ini dengan singkat dan padat. Namun, saya tergelitik kembali untuk menulis sisi lain dari pengibaran yang disebut gagal oleh sebagian kalangan itu.
Adalah Paskibraka itu sendiri. Sebelumnya kita sudah dipertontonkan bagaimana solidaritas dari adik - adik Paskibraka Nasional saat mendengar Gloria tidak diizinkan ikut dalam menjadi pengibar bendera. Dan kita juga merasakan kebahagiaan dari adik - adik yang sama, saat Presiden Jokowi selaku kepala Negara, mengizinkan Gloria menyemat status Paskibraka melalui upacara penurunan bendera.
setali tiga uang dengan yang terjadi pada Paskibraka Nasional, begitu juga rasanya dengan yang ada di Siantar. Kalau dipaksakan untuk mengatakan gagal (saya sama sekali tidak setuju dengan ucapan ini) maka yang gagal adalah 3 putra pengibar bendera. Namun kesedihan dirasakan oleh seluruh Paskibra kec. Siantar, tangis pecah saat komandan pasukan membubarkan barisan. Hal ini membuktikan, bahwa dalam Paskibra(ka), anda akan terlatih menjadi pribadi yang merasakan persaudaraan yang kental. Bagaimana tidak, lebih dari dua bulan anda akan berkumpul bersama. Ada yang tidak saling kenal menjadi kenal, dan akhirnya menjadi saudara.
Di sisi lain, Paskibra Kec. Siantar juga membuktikan mereka kuat secara mental. Hal ini dapat dilihat dari kerapihan barisan, sejak bendera dilipat sampai pembubaran barisan. Bahwa dalam perjalanan, ada beberapa siswa/i yang menangis adalah wajar, karena mereka tidak mengharapkan hal sedemikian terjadi. Bahkan aba aba dari Komandan Pasukan yang meski terdengar berat, masih cukup lantang untuk kasus seperti ini. Ya, pada akhirnya semua merasa bahwa mereka berada dalam satu tubuh, hingga kesakitan bagi yang satu adalah kesakitan bagi yang lain juga.
Ada yang mungkin terlupa daripelatih....
Tampaknya pelatih tidak menyiapkan opsi terburuk, hingga akhirnya terjadi hujan tangis dari adik - adik Paskibra kec. Siantar. Kemungkinan besar, pelatih tidak mengingatkan cara penangan Bendera dengan benar saat akan dikibarkan. Sehingga adik adik merasa dirinya gagal, padahal tidak! Sebelumnya saya sudah mengatakan, bahwa pembentangan Bendera adalah opsi terbaik, saat pengait bendera, dan atau tali tidak dapat dikendalikan.
Opsi lainnya adalah tetap memaksa Bendera naik, dengan resiko tali terputus. Bila yang terputus adalah tali atas, menjadi lebih baik, karena Bendera akan jatuh, dan pasti Paskibraka akan menyelamatkan Bendera agar tidak jatuh ke tanah dan membentangkannya. Nah, jika yang terputus adalah tali dibawah bendera, maka bendera akan setengah tiang, tidak dapat dilakukan apapun untuk mengubah kondisi sampai upacara selesai.
Yang terjadi di Siantar, juga sebenarnya menyelamatkan wajah panitia upacara dan juga sekaligus pemerintah kecamatan dari malu. Karena jika adik - adik paskibra memaksakan menaikkan bendera dan tali terputus, maka yang dibully adalah panitia bukan paskibraka. Para pengibar mengambil resiko terbaik, dengan mengabaikan apa yang akan mereka terima dari masyarakat yang tidak mengerti tentang Bendera Merah Putih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H