Menanti film berkualitas baik produksi dalam negri sebenarnya bukanlah mimpi, sayangnya banyak film - film "berkualitas tinggi" justru tidak disukai masyarakat Indonesia sendiri dengan banyak alasan. Belakangan muncul beberapa film yang diyakini sebagai bentuk kemajuan perfilman tanah air seperti The Raid, Java Heat, Darah Garuda, dan lain - lain. Padahal sebelumnya Indonesia sudah memiliki banyak film berkualitas, beberapa diantaranya laku keras dipasaran bak kacang goreng, sebagian lainnya justru hanya bertahan beberapa hari, sepi pengunjung. Sebut saja film Jamila dan Sang Presiden yang diadaptasi dari pementasan teater berjudul Pelacur dan Sang Presiden, cerita yang ditawarkan sederhana namun berkelas, hanya saja film yang dirilis pada tahun 2009 ini tidak menerima sambutan yang cukup hangat dari penikmat film tanah air. Sejak pertama menonton film ini, saya sudah meyakini bahwa film ini adalah "film festival" dimana penontonnya bukanlah orang - orang yang datang ke bioskop untuk menikmati hiburan, terbukti dengan menjadi nominator di FFI 2009, ditayangkan dibeberapa festival film di luar negri seperti Hongkong, Bangkok, Australia, bahkan film ini meraih NETPAC Award di Asiatica Film Mediale, Italia pada 2009 silam. Setali tiga uang dengan film karya Ratna Sarumpaet ini, Film Lovely Man yang membesut Donny Damara sebagai pemeran utamanya juga hanya bertahan beberapa hari di bioskop, padahal film ini sangat bagus dan layak ditonton oleh penikmat film tanah air. Film berkisah tentang seorang anak yang mencari ayahnya ke Jakarta berbuah manis, walau akhirnya sang anak harus menerima kenyataan bahwa sang ayah adalah waria ini mendapat sambutan hangat di festival film asia, dengan terpilihnya Donny Damara sebagai Aktor Terbaik mengalahkan Andy Lau pada ajang tersebut. Disamping itu dengan sedikit perubahan, Sinemart mengadaptasi film Lovely Man menjadi sebuah FTV berjudul Panggil Aku Puspa yang secara apik diperankan oleh Anjasmara. Lain halnya dengan Jamila dan Sang Presiden, Lovely Man sesungguhnya adalah film komersil, penuturan yang gamblang, cepat membuat penonton tidak perlu berpikir apa yang sedang terjadi.
Dua film lain yang menurut saya memberi cita rasa hollywood adalah, Dilema dan Pintu Terlarang kedua film ini bagi saya layaknya film Inception yang diperankan oleh Leonardo Di Caprio. Menonton film Dilema dan Pintu Terlarang, anda tidak akan terhibur, justru anda akan kebingungan, apa yang sedang ditayangkan, mengapa ini dan itu terjadi. Walau di ending diberikan penjelasan singkat, namun penonton bisa saja tidak mengerti sebelum menonton film ini lebih dari sekali. Kedua film ini juga sangat berbeda dengan dua film sebelumnya yang saya bahas, film Dilema dan Pintu Terlarang adalah hasil karya seni murni, artinya sutradara dan atau penulisnya sama sekali tidak memikirkan soal penjualan film nantinya, yang penting berkarya dengan baik, mengirimkan imajinasinya kelayar lebar. Pun begitu nasib kedua film ini juga tidak jauh berbeda dengan film yang saya sebutkan sebelumnya, harus terhempas dari bioskop yang lebih mempertahankan film horor bermodal paha dan dada layaknya restoran cepat saji yang sudah menjamur di Jakarta.
Selebihnya film - film cita rasa hollywood lainnya adalah Cut Nyak Dien, Gie, Janji Joni, Pasir Berbisik, dan Lewat Djam Malam. Mungkin masih banyak film lain yang layak disejajarkan dengan produksi hollywood, mungkin saya yang belum menontonnya, dan semoga saja kedepannya perfilman Indonesia bisa menjadi lebih baik setiap harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H