(Cerpen faksi dari seorang imam di Uni Emirat Arab)
"Punten! Ada masalah apa ketika salat tadi ya, Pak?" tanyaku perlahan pada seorang muwatin (pribumi) yang pernah memfitnahku dulu. Namanya Abu Salim. Aku menanyakan itu karena penasaran apa maksud dia. Pasalnya, saat aku menghadap jama'ah selepas salat, mataku tiba-tiba tertuju kepadanya.
Dari sudut kiri Masjid, kulihat dia melayangkan ancaman padaku melalui isyarat. 'Ada apa ya?' batinku. Jiwaku langsung bergemuruh kencang kala melihat isyarat kejam yang dihadapkan lelaki bertubuh gempal itu padaku. Di saat yang sama, memoriku kembali mengingat-ingat kejadian beberapa hari yang lalu. Kejadian yang membuatku tidak bisa makan dan pikiran pun tidak tenang waktu itu.
"Nanti kamu tahu sendiri," dengusnya sembari meninggalkan aku yang padahal sedari tadi menunggunya karena penasaran apa masuk isyarat itu. Aku berdiri di depan pintu Masjid sampai dia keluar. Dengan mukanya yang kecut, Abu Salim pun mengambil sandal terus melangkah pulang tanpa memahami perasaanku yang menyimpan selaksa pertanyaan sekaligus menunggu jawabannya.
Beberapa detik yang lalu, ada salah seorang jemaah keluar persis sebelum Abu Salim. Aku belum tahu namanya siapa. Sebab dia sangat pendiam. Lalu, Abu Salim mempercepat langkah untuk mengejarnya. Dari depan pintu, aku melihat Abu Salim mengobrol dengan jemaah yang tadi. Meski dalam jarak yang lumayan jauh, tetapi angin malam turut berembus untuk menyampaikan sebuah pesan ke telingaku. 'Jangan-jangan dia mau mengajak bapak itu kompromi? Dasar tukang kompor! Apa belum puas dia memecat imam yang sebelum aku ditugaskan di Masjid ini?' batinku.
Mereka mengobrol tidak begitu lama. Namun, begitu selesai, Abu Salim belum pulang melainkan balik lagi ke belakang. Sementara baba yang satu lagi pergi tanpa kutahu secara pasti apa hasil di balik obrolan mereka tadi. Semakin Abu Salim mendekat, kakiku bertambah gemetar. Mataku nyaris tidak berkedip sampai dia benar-benar ada di depanku. "Muthawa'! (Panggilan untuk seorang Imam di UEA)" pekiknya nyaris oktaf lima. "Kenapa tadi kamu salatnya terburu-buru?! Saat rakaat kedua aku sudah di pintu gerbang, tetapi begitu aku sampai di dalam saf, kamu sudah ruku' aja. Kenapa cepat kali?!" Pria paruh baya tersebut mempraktikkan bacaanku, tetapi dengan cara yang nyeleneh. Mulutnya komat-kamit seolah-olah bacaanku seperti itu.
Sebelum aku respon, tiba-tiba Baba (Bapak) Rasyid keluar dari Masjid. Beliau memang begitu. Selalu keluarnya terakhir, karena salat sunatnya lama. Selain itu juga, geraknya sangat perlahan itu pun dibantu dengan tongkat.Â
"Pak! Emang tadi aku salatnya terburu-buru?" tanyaku langsung padanya.Â
"Bukannya tadi aku bacanya hampir satu halaman di rakaat pertama dan kedua?" lanjutku.Â
Perlahan Baba Rasyid menoleh ke aku. "Betul sekali! Itu sudah pas. Gak kepanjangan, juga gak kependekan." Kemudian bola matanya mengarah ke Abu Salim.
"Iya, benar! Itu salatnya sudah pas. Aku setuju dengan kata Baba Rasyid," celetuk Baba Muhammad dari belakang. Beberapa detik yang lalu dia baru saja keluar Masjid. 'Alhamdulillah ya Rabb!' batinku sangat senang. Aku merasa seperti minum air sejuk di tengah panasnya gurun sahara.