Suap demi suap alhasil makan pun selesai. Bukan karena makanannya habis, melainkan perut kami yang membuat berhenti. Sebab sudah terasa kenyang. Aku pun berdiri lalu melangkah ke belakang untuk mencuci tangan. Dari wastafel aku melihat toiletnya yang bersih dan mengkilap. Semua dinding dan lantai dilapisi dengan granit kualitas terbaik. "Ayok, Mutawwa'!" suruh salah seorang tamu memecah lamunanku.
Sejak mengantri, aku terpesona melihat interior dan desainnya yang indah. Sehingga muncul angan dalam pikiran, kapan aku bisa memiliki rumah seperti ini? Mendengar suara ajakan tadi, aku pun maju ke depan untuk segera mencuci tangan dan mulut. Tidak berapa lama setelah itu aku kembali ke ruangan tengah. Sambil menunggu keluar, aku juga menikmati kebersihan dan keindahan seisi rumah.
Beberapa meter dari tempatku duduk, aku melihat Baba Yusuf hendak keluar, tetapi sebelum sampai di pintu, dia menoleh aku. "Mutawwa, ayok kita pergi!" ajaknya sembari melambaikan tangannya.
Aku pun lekas berdiri dan melangkah. "Kita mau ke mana lagi?" tanyaku memastikan. Aku kira undangan ini adalah undangan terakhir.
"Kita mau pergi ke satu rumah lagi," sahutnya sambil terus melangkah. Aku yang berada di belakang, mengejarnya. "Waduh, kenapa numpuk tiga rumah sekaligus dalam satu waktu? Apa gak bisa besok? Atau kapan -kapan, kek? Jadi mubazzir terus, kan?" tanyaku protes sambil terus melangkah ke mobil. Sejak dari rumah pertama dan kedua tadi, selalu mubazir. Makanan yang dihidangkan tidak habis. Yah, apa namanya kalau tidak mubazir?
Baba Yusuf menghela napas dengan perlahan. "Aku juga gak tahu. Iya mubazir sih, tapi mau gimana lagi?" Dia pun bingung mau jawab apa. Apakah undangan tersebut disetting dalam satu hari atau kebetulan saja? Aku juga tidak tahu.
Di sela-sela obrolan tadi, tetamu yang lain menuju mobil masing-masing sama dengan kami. Namun, sebelum sampai di mobil, Ahmad anaknya Baba Yusuf, menaikkan guthrahku ke atas iqal  agar aku tidak kepanasan. Aku pun diam saat dia merapikan guthrahku sehingga enak dipandang mata.
 Barulah kurasa nyaman di selasar ini. Soalnya, kalau sudutnya guthrah tidak dilipatkan ke iqal seperti para tetamu yang lain, Ahmad dan Muhammad misalnya, bisa membuat kepala panas terus menjalar ke leher karena ruang udara tertutup. Sementara cuaca di luar pagi ini aku perkirakan sampai 39 derajat celcius saking panasnya. Itu juga akan bertambah kala mentari terus melintangi cakrawala Ra'sul Khaimah.
Setelah naik mobil, kami pun melaju meninggalkan rumah Baba Badr yang indah bak istana itu. Aku tidak tahu arahnya ke mana karena masih baru di sini. Sebelum sampai ke tujuan, aku penasaran pada suku Baba Yusuf dan tetamu lainnya. "Baba, suku kalian apa?" tanyaku menoleh ke depan. Di sebelah kirinya ada Muhammad yang menyopiri kami.
"Shihhy. Kamu tahu itu?"
"Iya, aku sering dengar." Aku diam. Akan tetapi, aku masih penasaran dari mana asal suku itu.