Album ke delapan band pengusung genre Britpop, Blur, yang bertajuk The Magic Whip akhirnya resmi dirilis akhir April lalu. Sebagai penggemar fanatik dari band asal London, Inggris ini saya merasa gatal untuk mencoba mengulas album yang banyak dinanti fans Blur dari seluruh dunia ini. Bukan apa-apa, The Magic Whip yang direkam di Hongkong dan London pada tahun 2013, merupakan album teranyar Blur pasca Think Tank (2003), alias sejak 12 tahun lalu. Album ini juga menandai kembalinya sang gitaris, Graham Coxon, yang terakhir sebagai kuartet di Blur berkontribusi di album 13 (1999), sekitar 16 tahun lalu!
Ada 12 lagu dalam The Magic Whip, yang masing-masing seperti mencuplik perjalanan bermusik dari Damon Albarn (vokal), Graham Coxon (gitar), Alex James (bass), dan Dave Rowntree (drum), dari album pertama sampai ke tujuh. Berikut ulasannya:
Album ini pas sekali dibuka dengan “Lonesome Street” yang seolah langsung membawa kembali penggemar Blur ke era kejayaan Britpop di tahun 90-an. Saat menanti dirilisnya The Magic Whip, track ini adalah favorit saya kala manajemen Blur melempar beberapa lagu dari The Magic Whip ke dunia maya. Graham Coxon sebagai backing vocal di lagu ini seolah melepas rindu akan suara khasnya. “Wooo oooo,” senandungnya. Blur era Modern Life Is Rubbish, Parklife, hingga The Great Escape seolah kembali hadir.
Lagu kedua “New World Towers” mengingatkan saya akan lagu-lagu sang vokalis, Damon Albarn, dalam karya solonya di album Everyday Robots (2014). Nuansa Gorillaz juga terasa lekat pada track ini.
“Go Out” yang video “tutorial membuat es krimnya” dirilis pertama kali di YouTube pada 19 Februari 2015 sebagai bagian dari promosi perdana The Magic Whip awalnya kurang mengena di telinga saya. Namun lama-kelamaan suara-suara bising khas dari album self titled Blur dan 13 itu pun akhirnya kian nempel di telinga saya.
Lagu ke empat “Ice Cream Man” seolah menegaskan kenapa es krim dijadikan cover album oleh Blur. Dengan irama ceria ala Gorillaz track ini cukup sederhana untuk telinga.
“Thought I Was A Spaceman” adalah lagu dengan durasi terpanjang di album ini yaitu 6:16 menit. Ya, masih kalah panjang tentunya dibanding dengan “Essex Dog” yang lebih dari 11 menit itu. Lirik yang gelap dengan seretan gitar dari Graham Coxon menghiasi suramnya lagu ini.
Bagi penyuka “Song 2″, track “I Broadcast” pasti akan menjadi favorit utama dari album ini. Berkisah tentang kehidupan orang-orang kini yang sudah tahu semuanya sebelum saling berkunjung, lagu yang mungkin dicomot dari “selingkuh” Blur dengan selera Amerika pada era kejayaan album self titled Blur ini dijamin akan bisa bikin pendengarnya lompat-lompat.
Menurut cerita Coxon, lagu “My Terracotta Heart” berkisah tentang pasang surut hubungannya dengan Damon Albarn. Lirik sentimentil seperti “I’m running out of heart today. I’m running out of open road to you. When I know you are emoting and you’re dazed. Is something broke inside you, cause at the moment. I’m lost and feeling that I don’t know. If I’m losing you again” seolah menggambarkan hubungan yang rapuh atau pernah rapuh di antara mereka seperti halnya rapuhnya patung tanah liat Tentara Terakota yang berbaris di Tiongkok. Oh ya, dalam lagu ini Blur juga memasukkan lirik “And when we fly tomorrow over the Java seas”. Lumayan ada Laut Jawa dari Indonesia yang disebut, bukan cuma Tiongkok, Hongkong atau Korea.
Irama tabuhan drum ala militer dimainkan Dave Rowntree kala membuka lagu “There Are Too Many Of Us”. Suara Damon Albarn pun seketika seolah bergema dari balik Megaphone menyuarakan over populasi di dunia.
Pada track “Ghost Ship” kita bisa nikmati nuansa Blur yang lain, jazzy. Suara gitar Coxon dan cabikan bass Alex James terasa soulful. Menurut saya ini salah satu lagu Blur yang paling menenteramkan tak hanya di album ini, tapi selama rentang karir Blur.