Pada setiap tahun ajaran, siswa kelas 11 yang bersekolah di SMA Trinitas Bandung menyelenggarakan kegiatan live in, dimana siswa tinggal di keluarga angkat selama beberapa hari untuk belajar mengenai keseharian mereka.Â
Pada tahun ajaran ini, angkatan saya diberangkatkan di Wonogiri, tempat dimana kita akan tinggal selama 5 hari dimana kita akan berkegiatan bersama keluarga angkat kita masing-masing.Â
Saya mengajak teman-teman untuk melihat cerita sederhana ini, sebuah cerita manusia yang tersembunyi di tengah samudra kehidupan yang penuh kejutan dan ketidakpastian, yang terukir pada sebuah desa di Wonogiri.
Desa Belikurip, itulah namanya. Terletak di Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, desa yang kecil ini dihuni oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk umat Katolik yang hidup di bawah naungan Paroki Baturetno.Â
Saya mendatangi Desa ini dalam rangka kegiatan live in yang diselenggarakan oleh SMA Trinitas Bandung, dimana saya akan tinggal bersama keluarga angkat dan ikut menjalani kehidupan mereka selama masa tinggal saya.Â
Saat pertama kali saya menginjakan kaki di tempat ini, hawa panas membakar tubuhku, seperti menyambutku di dunia yang baru. Tidak seperti Bandung, kota asalku yang pada bulan November udaranya mulai dingin dan rintik hujan datang secara konsisten, tempat ini masih kering dan hujan belum menampakkan dirinya selama hampir 6 bulan.Â
Kekeringan yang ditimbulkan oleh kekurangan hujan ini memberikan dampak yang cukup signifikan kepada alam maupun masyarakat Desa Belikurip. Kita tidak perlu melihat jauh untuk menemui tanah yang retak-retak, tanaman serta pepohonan yang mati dan rumput-rumput kering. Untuk masyarakat sekitar, kesulitan air merupakan masalah yang sangat umum.Â
Saat saya tiba di rumah orang tua angkat yang bernama Ibu Maria, saya harus mengangkut air dari tempat lain karena air di rumahnya tidak selalu mengalir. Masyarakat sekitar yang bekerja sebagai petani juga tidak dapat bekerja karena ladangnya kering. Masyarakat sekitar menyebut fenomena kekeringan ini sebagai "musim paceklik"
Kita dihimbau bila kita berkegiatan di luar rumah pada siang hari, kita harus banyak minum air putih dan mandi setelah pulang. Bau keringat, sinar matahari yang membutakan mata, dan rasa panas yang membakar kulit merupakan ciri khas kegiatan apapun yang dilakukan di luar pada tengah hari.
Di tengah segala kesulitan tersebut, masyarakat Belikurip dapat mengunjungi pasar malam yang lokasinya tidak begitu jauh dari tempat mereka. Suasana meriah pasar malam menjadi pencerminan kekuatan dan kegigihan masyarakat dalam menghadapi kesulitan.
Meskipun dihantam berbagai tantangan, mereka mampu melupakan sejenak beban hidup dengan larut dalam kemeriahan wahana, toko, dan pertunjukan reog. Pasar malam bukan sekadar tempat hiburan bagi mereka, melainkan lokasi di mana solidaritas dan kebersamaan tumbuh. Masyarakat Belikurip mengajarkan bahwa kebahagiaan tak selalu terletak pada kemewahan, namun bisa ditemukan di tengah sederhana dan kebersamaan.
Resiliensi dan solidaritas masyarakat Belikurip dapat saya saksikan juga dalam sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagi saya. Pada malam hari, saya dan teman saya pergi mengikuti doa lingkungan bersama Ibu Maria.Â
Saya pikir ini adalah doa lingkungan biasa yang sering saya hadiri di Bandung. Tapi, saat saya perhatikan banyak umat Islam yang hadir membantu mempersiapkan doa ini bersama umat Katolik.Â
Saya kagum dengan solidaritas yang ditunjukkan pada peristiwa ini, menunjukkan betapa toleran dan solidnya komunitas tersebut. Mereka mampu bekerja sama di saat agama menjadi topik yang sangat sensitif di Indonesia.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI