Mohon tunggu...
Damianus Gading
Damianus Gading Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bangsa Indonesia 24 karat karena tidak jelas suku aslinya..perpaduan harmonis dari buah cinta suku Flores dan Sunda, lahir di Kota Hujan, 10 Oktober 1979..."just a simple man..looks simple outside..but little bit complex inside..."

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Surat Terbuka (Pertama) untuk Bp. Djohar Arifin Husin Ketua Umum PSSI

17 September 2011   11:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:53 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_135904" align="alignnone" width="300" caption="Gambar diambil dari www.sundul.com"][/caption]

Kepada Yth.

Bp. Djohar Arifin Husin

Ketua Umum

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia

Di Tempat

Dengan Hormat,

Saya hanyalah rakyat biasa di Republik ini yang kebetulan mencintai sepakbola sebagai sebuah karya Ilahi yang luar biasa indah melalui manusia-manusia yang diciptakan-Nya.Seperti halnya Bapak, saya adalah juga bagian dari masyarakat sepakbola Indonesia yang tidak pernah lelah untuk bermimpi bahwa suatu saat sepakbola Bangsa kita mampu terbang tinggi dengan gagah di kancah internasional seperti halnya Sang Garuda yang gagah nan perkasa.

Surat terbuka ini saya buat didasari oleh hanya satu alasan mendasar yaitu karena saya mencintai PSSI sebagai sebuah lembaga otoritas tertinggi yang mengatur sepakbola di Republik ini. Saya mencintai PSSI dengan segala kelemahan dan kelebihannya, karena sampai detik ini, saya masih mengimani bahwa PSSI adalah alat perjuangan bangsa. Walaupun karena perasaan cinta itu, berkali-kali pula saya harus mengalami “luka” di hati karena banyaknya absurditas dalam pengelolaan sepakbola kita.

Sehubungan dengan hasil Rapat Komite Eksekutif semalam, 16 September 2011 dengan rendah hati perkenankanlah saya untuk memberikan beberapa masukan bagi kepengurusan PSSI 2011-2015 di bawah komando bapak sebagai pengemban amanat Kongres Luar Biasa PSSI.

“Mundur Satu Langkah, untuk Maju Seratus Langkah Kedepan”

Mencermati perkembangan sepakbola kita sejak 9 Juli 2011 lalu sampai hari ini, dengan jujur saya harus mengatakan bahwa Bapak belum memiliki sebuah prinsip dasar/keteguhan sikap sebagai seorang pemimpin.

Saya bisa memahami jika Bapak berada pada dua kutub ekstrim yang saling bertentangan dalam kepengurusan saat ini,antara kubu pro status quo dengan kubu pro perubahan, karena sepakbola kita memang sudah rusak oleh “politisasi” yang sudah membudaya sejak Tahun 1970an. Hidup memang sebuah pilihan, tetapi berani memilih dan berani mengambil resiko dari pilihan yang diambil adalah dua hal yang sangat berbeda walaupun berhubungan satu sama lain.

Saya rasa kita berdua sepakat bahwa kondisi sepakbola kita sebelum 9 Juli 2011 adalah kondisi yang “sakit” dan karena itu pula untuk mengobatinya kita harus mengambil langkah mundur untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap “penyakit-penyakit” tersebut. Adapun beberapa langkah “Mundur Satu Langkah, untuk Maju Seratus Langkah Kedepan” yang merupakan tema besar isi surat terbuka ini meliputi beberapa hal yang menurut saya sangat krusial dalam pengembangan sepakbola kita ke depan.

1. Politisasi Sepakbola Indonesia

Apapun dinamika yang terjadi selama Kongres Luar Biasa PSSI 9 Juli 2011, sejarah mencatat bahwa Bapak diberi amanat dan kepercayaan untuk memimpin PSSI. Bapak memang tidak bisa menutup mata terhadap dukungan kubu Pro Perubahan yang disokong oleh kekuatan Bp. Arifin Panigoro dan Bp. George Toisutta, publikpun tahu bahwa Bapak adalah hasil kompromi terbaik dari politisasi yang terjadi selama Kongres tersebut. Poilitisasi disini, bukan hanya karena melibatkan kepentingan elite partai-partai tertentu, tetapi juga karena melibatkan banyaknya kepentingan kelompok dan orang per orang di luar partai. Di titik inilah Bapak seharusnya mampu membuat garis tegas antara kepentingan sepakbola nasional dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama mereka yang telah menyokong Bapak untuk menjadi seorang pemenang. Saya percaya, jika pada titik ini Bapak mengambil sikap yang tegas, maka kedepan kita mulai belajar untuk secara bertahap menghancurkan salah satu sumber “penyakit” kita yaitu politisasi sepakbola. Garis tegas tersebut haruslah berdasarkan keyakinan pribadi Bapak mengenai apa yang baik dan benar bagi pengelolaan sepakbola kita ke depan, karena Bapak adalah seorang mantan pemain, mantan wasit dan sudah lama berkecimpung dalam dunia sepakbola kita. Bapak adalah ketua umum yang paling ideal dilihat dari sisi latar belakang dan pengalaman Bapak.

Bapak harus berani mengatakan “Tidak” kepada aspirasi-aspirasi khususnya dari kubu yang berjasa menyokong Bapak, jika menurut keyakinan pribadi Bapak, aspirasi tersebut bertentangan dengan keyakinan pribadi bapak sebagai seorang yang jauh berpengalaman di sepakbola. Walaupun tentu saja sikap tegas ini akan bisa membuat Bapak dikorbankan, tetapi akan jauh lebih bernilai jika kita dikorbankan karena kebenaran dan keteguhan prinsip daripada bertahan dan secara sadar memilih untuk menjadi “boneka” kepentingan tertentu.

2. Jika PSSI adalah “Agama”, maka Statuta adalah “Kitab Suci”

Saya rasa kita berdua memahami mengapa Bangsa ini mengalami krisis multidimensi hampir di semua bidang kehidupan. Salah satunya adalah karena kita tidak pernah menghargai Hukum, Peraturan, Norma dan Etika. Semua bisa dibeli dengan kekuasaan dan uang.

Sungguh, saya bersyukur bahwa di dalam Komite Eksekutif masih terdapat beberapa pribadi yang masih menjunjung tinggi Statuta PSSI, salah satunya adalah Bp. La Nyalla Matalitti. Saya telah membaca dan mempelajari Statuta PSSI dalam versi Bahasa Inggris yang diapproval oleh FIFA dan AFC yang saya download dari Website PSSI.

Adalah sebuah absurditas yang luar biasa, jika Bapak dan semua pengurus PSSI tidak memahami substansi dari Statuta tersebut. Saya akan sangat sedih membayangkan jika pada rapat Komite Eksekutif semalam tidak ada seorang Bp. La Nyalla Matalitti, yang mengingatkan hal yang paling fundamental dalam sebuah organisasi yaitu “aturan main” dalam hal ini Statuta PSSI.

Semoga rapat Komite Eksekutif semalam mampu mengingatkan Bapak dan pengurus lainnya untuk tidak menutup mata, telinga dan hati pada realita sepakbola kita hanya demi memperjuangkan kepentingan kubu-kubu tertentu. PSSI memiliki kesempatan besar untuk menjadi contoh dan teladan yang baik bagi Bangsa ini dalam hal menghargai Hukum, Peraturan, Norma dan Etika. Dan semoga Bapak dan para pengurus lainnya mau mengambil langkah mundur ke belakang dengan berusaha memahami substansi Statuta PSSI terlebih dahulu, melakukan evaluasi dan melakukan perencanaan matang yang sesuai dengan Statuta tersebut.

3.Pengelolaan Kompetisi Profesional dan Amatir.

Profesionalitas dalam sepakbola kita masih terbatas pada sebuah mimpi, karena profesionalitas lebih dari sekedar kecakapan berbisnis atau mencari uang belaka, tetapi lebih dari itu, profesionalitas adalah sebuah sikap hidup. Pola pikir kompetisi kita pada dasarnya adalah amatir, kita memang belum sungguh-sungguh professional. Untuk mengubah mindset tersebut, diperlukan proses panjang dan bertahap disertai kesabaran yang luar biasa dari semua pihak yang terlibat, khususny6a Bapak sebagai seorang pemimpin.

Menurut hemat saya, Bapak perlu mengambil langkah mundur jauh kebelakang dengan melakukan evaluasi terhadap sejarah kompetisi kita selama ini. Kompetisi kita harus memiliki kelamin yang jelas antara Profesional dan Amatir seperti dulu ketika Galatama dan Perserikatan. Seluruh klub sepakbola di Tanah Air harus berani memutuskan apakah klubnya mampu atau tidak menjadi klub yang professional sesuai dengan persayaratan standar AFC dan FIFA. Jika tidak mampu maka harus jujur pada diri sendiri dan berkompetisilah di level amatir yang rohnya adalah pembinaan.

Saya sangat mendukung keputusan PSSI untuk melakukan evaluasi ulang secara menyeluruh terhadap klub-klub yang berminat untuk berkompetisi di level professional. Persayaratan ketat yang dibuat oleh AFC dan FIFA adalah standar minimal yang harus dipenuhi seluruh klub, jika standar minimal tersebut tidak mampu dipenuhi oleh klub-klub kita, maka kita pun dalam hal ini Bapak dan para pengurus PSSI harus jujur pada diri sendiri dan tidak perlu memaksakan diri hanya demi kuota ke Liga Champions Asia, toh selama ini klub-klub juara kita di ajang tersebut hanya menjadi lumbung gol saja. Kita harus memulai lagi dari pondasi yang benar sebagai dasar melakukan perubahan yang radikal. Selama 3 tahun kedepan, jika kita membangun iklim kompetisi yang sungguh professional, maka ketika hukuman AFC berakhir, kita pasti akan mulai mampu berbicara di level klub internasional tersebut.

Proses verifikasi klub harus dilakukan atas dasar transparansi yang bisa dipertanggungjawabkan oleh PSSI agar public sepakbola kita juga bisa belajar untuk memahami sebuah proses dan belajar untuk jujur pada diri sendiri. Saya juga mendukung rencana PSSI untuk melakukan salary cap di kompetisi professional, karena adalah sebuah absurditas yang luar biasa ketika segelintir pemain sepakbola hidup dengan gaji ratusan juta sampai miliaran rupiah padahal sekalipun belum pernah mereka mampu membawa Bangsa ini ke Piala Dunia. Tanpa pembatasan Salary Cap, maka PSSI akan mengulangi kesalahan besar seperti yang dilakukan Pemerintah saat ini, yaitu membiarkan “virus-virus” ekonomi pasar bebas merusak tatanan ekonomi kita yang sejatinya adalah Ekonomi Kerakyatan sesuai dengan Sila ke 5 Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”

4. Pembinaan Usia Dini

Bapak juga harus mau mundur jauh kebelakang dengan melakukan evaluasi terhadap standarisasi pembinaan sepakbola usia dini yang sudah berjalan selama ini. Kita belum memiliki sebuah kurikulum baku mengenai sekolah-sekolah sepakbola di seluruh Indonesia. Mentalitas seorang juara hanya bisa dibentuk sejak masih berusia dini, begitu juga dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kerja keras, disiplin diri dan fair play. Jika sejak usia dini kita sudah gagal membentuk karakter-karakter seperti itu, maka jangan pernah berharap kita mampu terbang tinggi di level internasional.

Pengelolaan kompetisi usia dini juga harus terstandarisasi di setiap level umur, disini kembali peran ketaatan terhadap Peraturan, Hukum, Norma dan Etika harus menjadi pijakan dasar semua komponen yang terlibat. Saya sering “menangis di dalam hati” ketika melihat dengan mata kepala sendiri anak-anak kita di seluruh pelosok daerah bermain bola dengan teknik yang walaupun masih mentah sudah menunjukkan skill yang luar biasa, mereka bermain dengan bahagia, mereka bermain dengan hati dan tertawa bersama walaupun hanya di pinggir-pinggir jalan dan gang-gang di kampung.

Sementara ini, sekian dulu surat dari saya kepada Yang Terhormat Bapak Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin. Jika ada kata-kata yang tidak atau kurang berkenan mohon dimaafkan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu menyertai Bapak dan segenap pengurus PSSI dalam menjalankan amanah mengangkat kembali derajat sepakbola kita.

Salam,

Damianus Gading

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun