Korupsi yang Banal
Damhuri Muhammad
(majalah Esquire, edisi Januari 2014)
Dalam keriuhan suara dan hiruk-pikuk kemarahan akibat praktik korupsi yang merajarela di republik ini, saya kerap mengalami kebimbangan. Mudah menunjuk batang hidung atau memaki-maki pelakunya di laman-laman media jejaring sosial, katakanlah pejabat negara mulai dari level bupati, gubernur, mentri, elit partai, hingga aparat penegak keadilan. Barangkali karena mereka adalah individu-individu di luar kehidupan saya. Akan berbeda kenyataannya bila watak korup itu tumbuh dan membiak dalam lingkaran keluarga saya. Sebut saja, ayah, ibu, paman, kakak-ipar, atau kerabat-kerabat dekat lainnya.
Di lingkungan keluarga, saya sering menegaskan, tak perlu jauh-jauh menyalahkan koruptor kelas kakap. Tengoklah saudara terdekat; pegawai biasa di sebuah kantor pemerintah di Jakarta. Hanya kepala sub-bagian (Kasubag), tapi bergonta-ganti mobil mewah saban tahun. Rumahnya ada di empat penjuru ibukota, hidupnya bergelimang kemewahan. Punya hotel megah dengan lahan puluhan hektar di kampung halaman. Saya berupaya menunjukkan bukti-bukti akurat bahwa kekayaan kerabat saya yang melimpah-ruah itu adalah hasil korupsi. Tapi upaya saya sia-sia. Alih-alih dipercayai, saya malah dicibirkan, dianggap dengki, dan akhirnya dibujuk untuk tidak banyak bersuara.
Inilah yang saya maksud dengan kebimbangan. Keluarga, tempat saya dibesarkan dengan keluhuran budi, membiarkan kerabat yang sudah pasti ikut menghisap uang negara. Bagaimana saya akan berteriak melawan korupsi? Salah satu malingnya berasal dari rumah saya, dan keluarga besar saya memaklumi, atau mungkin sudah memaafkannya? Aksi diam itu penyebabnya sederhana; jasa. Koruptor itu sudah banyak berjasa. Membiayai pendidikan anak-anak dari sanak-keluarga yang melarat, membangun musholla, hingga mengaspal jalan kampung yang rusak-parah. Sejak itu, saya memercayai bahwa kemiskinan karib kerabat saya dan ketidakmujuran nasib orang-orang kampung saya ternyata telah memfasilitasi kebejatan bernama; korupsi. Dalam bahasa filsuf Perancis, Pierre Bordeau, inilah habitus atau alam kultural, yang dalam konteks ini telah menjadi ranah tempat berurat-berakarnya korupsi.
Imbalan atau yang lazim disebut “gratifikasi” itu sebenarnya hanya remah atau recehan bila dibandingkan dengan kejahatan seorang koruptor. Tapi banyak orang begitu cepat memaafkannya, bahkan mendoakan keselamatannya. Solidaritas dalam sistem komunal kita gampang melakukan pembelaan, atau melindungi maling, bila perlu. Bukankah sebuah institusi partai politik lebih kerap mengklaim korupsi di partai lain ketimbang mengaku bahwa korupsi juga sedang menjangkiti tubuh partainya sendiri? Semut di seberang lautan tampak begitu gemuk, sementara gajah di pelupuk mata bagai hendak dilupakan. Maka, benarlah kiranya teori para sosiolog, bahwa budaya kolektif memberikan prioritas pada kebutuhan dan tujuan kelompok, mementingkan keharmonisan. Setiap orang berusaha mendukung kebutuhan kelompok, meski berakibat merugikan dirinya. Riset terkini tentang korupsi di sejumlah negara, sebagaimana dicatat Sahat K Panggabean (2012) dari Predicting Societal Corruption Across Time: values, wealth, or institutions? (O’Connor S. &Fischer R, 2011), menyimpulkan bahwa indeks korupsi cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang menganut relasi komunal ketimbang individual. Kolektivisme mendukung praktik suap karena rendahnya anggapan bahwa ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Betapapun tercelanya koruptor, ia akan terselamatkan. Apalagi yang rajin menaburkan budi-baik dan kepedulian sosial semu. Korupsi memang terus bakal dikutuk, tapi tanpa sungkan kita senantiasa melakukannya. Seperti kebiasaan membeli rokok yang pada kemasannya tertera peringatan; merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan.Sebagaimana perangai mengencingi papan pengumuman; dilarang kencing di sini. Terlarang, tapi kita tidak mau berhenti melakukannya, setidaknya berperan memfasilitasinya. Itu sebabnya korupsi di negeri ini seperti kebiasaan berkumur-kumur saban pagi. Menyehari, banal dan massal.
Di level yang lebih praksis, suatu kali saya diundang sebagai narasumber guna membincang korupsi dari perspektif kebudayaan. Semua teori telah berhamburan, rupa-rupa dalil dalam filsafat kebudayan telah diketengahkan, sekian jurus ampuh membasmi korupsi saya rekomendasikan. Saya amat antusias menelaah persoalan krusial yang tiada kunjung terselesaikan itu, hingga mulut saya berbusa-busa. Usai diskusi dan perdebatan panas, saya mesti mengisi daftar hadir, sebagai syarat administratif laporan keuangan bagi panitia penyelenggara. Kenapa saya harus menandatangani absensi untuk tiga hari kehadiran sementara acara sudah tuntas hari ini? Panitia hanya mengumbar senyum genit. Dari lirikan matanya saya membaca permintaan agar saya maklum. Lalu tiba giliran menerima honor dan inilah bagian yang menegangkan. Saya diminta menandatangani kwitansi kosong. Kenapa tidak dituliskan saja nominal uang yang saya terima di kwitansi itu? Lagi-lagi si petugas genit menatap saya. Bahasa matanya meminta saya mengikuti permainan ringan itu. Tanda tangan kwitansi kosong, terima honor, tuntas perkara. Pada hari celaka itu, saya telah mengkhianati pikiran yang baru saya rumuskan, saya menghina akal-sehat yang saya gunakan untuk memikirkan cara jitu membasmi korupsi. Alih-alih melawan korupsi, saya malah bersekutu melakukan korupsi. Dalam peristiwa itu, jarak antara akal-sehat dengan akal-bulus kami ternyata begitu dekat.
Tapi, lama-lama saya terbiasa. Saya telah berada dalam lingkaran pemakluman demi pemakluman. Berteriak mengatakan tidak pada korupsi, tapi pada saat yang sama merelakan tubuh dan harga diri saya sebagai jembatan menuju korupsi. Kerabat yang dulu saya tuding koruptor itu pensiun dini sejak warna politik di lingkungan kerjanya berubah. Ia berganti-kulit menjadi politisi dan mendeklarasikan diri sebagai calon anggota DPR-RI. Menghambur-hamburkan uang demi mendulang suara. Keluarga besar saya semakin memujanya. Orang-orang kampung saya mendoakan keterpilihannya. Saya menatap sorot matanya yang terpajang di sepanjang jalan provinsi. Menimbang-nimbang watak kemaruknya, sambil mengukur kemunafikan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H