Saat ini, Indonesia memgalami darurat kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022.Â
Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. Oleh sebab itu, Dr. Arie Suciyana Sriyanto, M.Si, Nurul Adiningtyas, M.Psi, Psikolog dan Riblita Damayanti, M.Psi, Psikolog, dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana (UMB), mengangkat tema "Dukungan Psikologis Awal terhadap Kekerasan Seksual pada Anak dengan Membangun Komunikasi Positif" dalam acara Seminar Parenting PAUD Al-Irsyaad, Joglo, untuk menjadi kegiatan Program Pengabdian Masyarakat (PPM) skema internal sebagai salah satu kegiatan tri darma perguruan tinggi mereka.
Dalam keterangan tertulisnya pada media, Riblita Damayanti yang memberikan materi tentang Psikoedukasi Kekerasan Seksual pada Anak menuturkan bahwa kekerasan seksual pada anak terjadi ketika orang dewasa memanfaatkan kepolosan anak untuk memuaskan hasrat seksualnya.
Ada beberapa jenis kekerasan seksual pada anak, non-touching abuse seperti pornografi atau berkomunikasi secara seksual dengan anak melalui telepon atau internet, dan touching abuse yaitu kekerasan seksual dengan kontak fisik seperti berciuman hingga hubungan seksual.
Riblita menyampaikan bahwa semua anak memiliki resiko untuk menjadi korban kekerasan seksual, namun anak-anak yang tertutup dan memiliki banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi lebih rentan menjadi korban.
 "Anak biasanya bingung untuk melapor karena mereka tidak mengerti bahwa apa yang menimpa mereka adalah sebuah tindak kejahatan," jelas Riblita. "Apalagi, di Indonesia ini masih tabu untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan seksualitas sehingga Anak juga mengalami kebingungan untuk melapor kepada orang tuanya," imbuhnya.
Nurul menambahkan bahwa kesulitan dalam mengidentifikasi anak korban kekerasan seksual dikarenakan pelaku kekerasan seksual biasanya adalah orang-orang yang dikenal oleh anak.Â
Dalam paparannya yang berjudul Psikoedukasi tentang Sexual Grooming pada Guru dan Orang Tua di Lingkup PAUD Al-Irsyaad, Nurul menjelaskan bahwa kekerasan seksual pada anak sangat jarang dibarengi dengan tindakan atau ucapan yang bersifat mengancam. Predator seksual biasanya memupuk hubunbgan dengan calon korban melalui proses yang disebut dengan grooming.
"Melalui grooming, pelaku membangun kepercayaan dan hubungan emosional dengan korban yang ditargetkan untuk memanipulasi mereka," tutur Nurul.
Tidak hanya pada anak saja, Nurul menjelaskan bahwa terkadang pelaku juga melakukan grooming pada keluarga sehingga ia mendapatkan kepercayaan keluarga yang berarti ia memiliki akses yang lebih luas terhadap korban.
Adapun ciri-ciri anak yang mengalami grooming biasanya adalah anak sangat tertutup tentang apa yang mereka lakukan di waktu luang mereka, termasuk di dunia maya, mereka merahasiakan sumber dari hadiah atau uang yang mereka dapatkan, menjalin persahabatan dengan orang yang lebih tua, atau mengalami perubahan emosional seperti menjadi lebih menarik diri atau cemas.Â
Orang tua perlu waspada dengan sexual grooming ini karena dapat mengakibatkan munculnya depresi dan kecemasan pada anak, disosiasi, masalah tidur dan masalah perilaku seksual.
Lalu apa yang harus dilakukan jika anak terlanjur menjadi korban kekerasan seksual atau saat ini sedang mengalami grooming untuk menjadi korban kekerasan seksual?
Arie Suciyana menuturkan situasi tersebut harus segera ditangani salah satunya dengan metode Psychological First Aid /PFA atau dukungan psikologis awal dapat dianalogikan sebagai P3K untuk ketidaknyamana psikologis
"PFA diperlukan untuk mengurangi ketidak nyamanan yang disebabkan karena reaksi emosi dan pikiran setelah mengalami peristiwa stress tinggi (trauma)," jelasnya
Menurutnya, apabila gangguan psikologis tersebut tidak segera diatasi maka dampak serius jangka panjang, tidak hanya merugikan dirinya tapi juga orang lain, dalam hal ini keluarga dan lingkungan.
Bagi yang mengalami trauma atau dampak psikologis karena kekerasan seksual harus segera di tangani oleh tenaga profesional kesehatan mental.
Dengan metode sederhana PFA, Arie Suciana berharap peserta seminar parenting dapat memperoleh pengetahuan dan memberikan edukasi kepada orang terdekat atau lingkungan masyarakat apabila ada yang mengalami kekerasan seksual, sehingga proses penyembuhan psikis dapat teratasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H