Ini pagi bulan Juli. Tak ada penumpang reguler yang mampir, semua pekerja asing pulang ke kampung halaman masing-masing. Pekerja kantoran langganan, tengah menikmati cutinya. Para ibu yang biasa menjemput-antar anak mereka ke sekolah, kini terbang berlibur ke negaranya. Kota kecil di gurun ini kini sunyi, hanya deru knalpot mobil dan angin yang mendesir. Burung pun malas berkejaran di bawah awan.
“Halo?” supir taksi itu, Abu panggilannya, asli Pakistan, menjawab panggilan telepon genggam, satu dari tiga telepon genggam yang ia punya.
Penelepon itu, entah siapa. Ini kali kedua Abu mengantarnya. Ke tempat yang berbeda. Kadang perempuan itu minta diantar ke mal, besoknya ia pergi ke sebuah jalan besar, dimana sebuah mobil sudah siap menantinya.
Abu menghela pedal gasnya ke kediaman si wanita misterius itu. Bajunya berabaya rapat dari ujung jempol kaki ke ujung kepala. Wajahnya berselubung kain hitam, cadar. Wanita itu naik ke jok belakang. Menutup pintu, lalu dengan suara beratnya, ia menyebut tempat yang dituju. Sebuah jalan besar, di sepanjang jalannya dipadati villa, rumah orang Arab.
Sreett, sreett. Uhuk! Tenggorokannya tercekat. Ia menahan napas. Bau apa ini? Kepalanya pusing mendadak. Rupanya wanita itu menyemprotkan parfum, yang wanginya bisa mengundang jin masuk ke dalam taksi. Abu bergidik ngeri. Ini parfum mahal pasti, tapi kenapa tidak ada harum-harumnya sama sekali.
Ohlala! Wanita itu membuka cadarnya, mengoleskan kosmetik wanita. Astaga! Dari balik spion terlihat hidungnya yang bangir dan mata hitamnya yang dalam. Mengapa ia berdandan di taksi? Tak sempat menuntaskan kaget bercampur penasaran, wanita itu sadar, lalu menutup kembali wajahnya dengan cadar.
Kota ini kecil, dari ujung ke ujung hanya 20 menit. Tak butuh waktu lama, mereka sampai di tempat yang dimaksud si wanita. Wanita bercadar itu memberi uang lebih. Selalu. Seperti hari-hari sebelumnya. Abu heran. Biasanya, tak ada wanita Arab yang begitu dermawan memberi uang tips sebanyak itu. Boro-boro tips, kadang malah ada yang kabur tak membayar ongkos.
Dua hari kemudian. Di waktu yang sama, wanita itu kembali memberi order taksi. Ah, kebetulan, Abu berada di lokasi yang tak jauh dari tempat yang dimaksud. Ia memutuskan menunggu di depan kediaman si wanita. Seorang pria berambut putih semua, menggandeng dua anak keluar dari pintu rumah tersebut, didampingi wanita bercadar. Wanita itu menutup pintu bagi mobil suaminya. Mobil yang berisi pria tua dan dua anak tadi melesat meninggal kan debu. Wanita itu celingak celinguk, menanti mobilnya hilang dari tikungan, lalu ia menuju taksi, masuk ke dalamnya, menyebut tujuan mereka.
Abu menebak hampir pasti, itu suaminya. Sebuah pertanyaan menandak-nandak di hatinya. Ketika mobil meluncur di jalanan, memberanikan diri bertanya. Dalam bahasa Arab tentu saja. Abu mahir berbahasa Arab, ia pernah bekerja di sebuah restoran India di Riyadh sebelum beralih profesi sebagai supir taksi. Wanita itu mengangguk, membenarkan dua anak tersebut adalah anaknya, dan pria berambut putih tadi suaminya. Wanita ini cukup ramah, tidak seperti wanita Arab pada umumnya yang jutek dan mengeluarkan hanya satu dua patah kata. Mungkin, supir taksi seperti dirinya dianggap beda kasta. Tidak perlu diajak bicara. Wanita ini ramah dan berbeda, pikir Abu.
Ia mengantar penumpangnya ke tempat yang dituju. Lagi-lagi bangunan yang sama di jalan yang sama, dengan penyambut gerbang yang sama. Abu cuma heran, kalau pria paruh baya tadi suaminya, lalu siapa pria muda gagah perkasa yang membuka pintu baginya? Ah, mungkin ia anggota keluarganya.
Pagi itu datang lagi. Sama seperti pagi sebelumnya, namun kali ini sejuta kesunyian dan hawa mengerikan menelusup ke dada Abu. Sesuatu akan terjadi. Selalu saja. Di tengah rutinitas, ada insiden yang membuat sebuah hari menjadi berbeda. Abu merasakannya.
Wanita itu lagi. Tempat yang sama lagi. Wanita itu turun. Dengan pria muda yang sama yang membuka pintu untuknya. Tiba-tiba ciiiiiiiiiitt! Decit mobil dari belakang taksinya. Seorang pria paruh baya keluar, menarik tangan perempuan tersebut. Dua laki-laki hampir beradu tinju, namun dipisah oleh wanita tadi. Abu menyaksikan dengan jantung dan kepala hampir terpisah dari badan. Tidak percaya apa yang dilihatnya. Segera ia sadar, lalu memacu mobilnya dengan kecepatan ala mobil balap.
Seminggu berlalu. Tidak ada penumpang di pagi hari. Taksinya sepi. Ponselnya berbunyi. Nomor wanita itu. Abu menjawab. Ia bilang, maaf saya sibuk sekali pagi ini. Tak dilayaninya panggilan satu itu. Ia rela paginya tanpa penumpang, asalkan ia selamat. Tidak membawa penumpang bertemu seseorang yang bisa ditebak, itu bukan suaminya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H