Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Apakah Indonesia akan Melahirkan Teknologi Iron Man?

16 Februari 2016   04:08 Diperbarui: 16 Februari 2016   13:56 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu, yaitu pada tanggal 19 Januari 2016 media Indonesia dikejutkan oleh ‘Iron Man’ Indonesia. Bagaimana tidak mengagumkan: seorang anak bangsa berpendidikan sekolah teknik menengah menciptakan tangan robotik dari barang rongsokan yang dapat mengatasi kelumpuhannya. Lebih hebat lagi tangan robotik ini dikendalikan dengan sinyal otak. Terlepas dari dibutuhkannya pemahaman utuh akan mekanisme kerja tangan robotik tersebut, kejadian ini menyorot peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan teknologi mutakhir Brain-Computer Interface (Antarmuka Otak-Komputer).

Harapan bagi penderita lumpuh              

Dalam kehidupan sehari-hari contohnya ketika kita membuat secangkir kopi, menuangkan air panas dan mengaduk seduhan kopi, seringkali kita lupa betapa vitalnya kemampuan bergerak. Baru ketika kemampuan tersebut hilang kita dapat menghargainya. Stroke sebagai salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia seringkali berujung pada kelumpuhan.Teknologi futuristik Brain-Computer Interface (BCI) memberikan harapan baru untuk mengatasi kelumpuhan bukan hanya untuk penderita stroke tetapi juga untuk penderita trauma tulang belakang atau penyakit motor neuron.

Brain-Computer Interface (BCI) merupakan perangkat yang menghubungkan otak dan komputer.  BCI berfungsi sebagai saluran komunikasi yang menerjemahkan sinyal listrik otak menjadi perintah yang menggerakan sebuah perangkat seperti kursor komputer atua tangan robotik. Dengan menggunakan BCI hanya dengan berpikir, seorang penderita trauma tulang belakang bisa menggerakan sebuah kursi roda robotik.

Seorang yang mengalami kesulitan berbicara karena stroke bisa berkomunikasi dengan bantuan BCI, kira-kira seperti fisikawan Stephen Hawking. Bagi yang tidak mengalami kelumpuhan, di masa depan harapannya adalah kita bisa mengoperasikan telepon genggam kita hanya dengan berpikir. Memang dalam dua dasawarsa terakhir, penelitian BCI meningkat seiring dengan pengembangkan teknologi yang pesat. Namun masih banyak tantangan yang dihadapi peneliti untuk mewujudkan alat yang dapat digunakan sehari-hari.

Memecahkan sandi sinyal otak

Otak manusia merupakan organ padat yang terdiri atas sekitar 100 miliar sel saraf yang disebut neuron. Setiap neuron berkomunikasi dengan neuron-neuron lainnya melalui konduksi sinyal listrik atau secara kimiawi. Berbagai teknologi pencitraan memampukan kita untuk mengamati aktivitas otak saat melakukan kegiatan tertentu, seperti saat melakukan gerakan tertentu. Penelitian tersebut memberikan informasi mengenai struktur spesifik otak yang terlibat dalam pergerakan. Salah satu tantangan utama dalam menciptakan Brain-Computer Interface (BCI) yang efektif adalah memecahkan sandi sinyal otak yang mengontrol pergerakan.

Untuk itu penelitian sains dasar memainkan peran penting dalam memahami mekanisme kerja otak. Melalui eksperimen anatomis, fisiologis, perilaku motorik, dan pemodelan matematik banyak kemajuan yang telah dicapai dalam memahami bagaimana otak mengontrol pergerakan. Pemahaman ini tidak hanya penting untuk pengembangan teknologi BCI tetapi juga untuk memahami berbagai mekanisme penyakit motorik, mengembangkan terapi rehabilitasi dan pengobatan. Saat ini kita memahami secara garis besar bagaimana otak mengontrol pergerakan tetapi kode apa yang digunakan otak serta parameter apa yang dikode masih menjadi perdebatan dan secara aktif diteliti oleh ilmuwan-ilmuwan dunia.

Pengukuran sinyal listrik otak

Brain-Computer Interface (BCI) terdiri atas tiga komponen utama, yaitu 1) pengukuran sinyal otak, 2) komputer pemroses sinyal, dan 3) perangkat yang digerakkan. Dalam BCI yang diciptakan oleh ‘Iron Man’ Indonesia, I Wayan Sutawan atau Tawan, ketiga komponen tersebut adalah 1) pengukur sinyal otak yang melingkar kepala Tawan, 2) komputer pemroses di kepala dan punggung, dan 3) kerangka yang menyangga tangannya. Tawan menyebut komponen pengukur sinyal otak yang digunakannya elektroensefalografi (EEG). Akan tetapi apakah benar alat yang melingkar kepala Tawan mengukur sinyal listrik otak?

Elektroensefalografi (EEG) merupakan prosedur rutin yang digunakan di rumah sakit untuk menyelidiki kejang. Dengan menggunakan teknik ini kita dapat merekam aktivitas listrik otak manusia dengan meletakkan elektroda pada permukaan kulit kepala dan mengaplikasikan materi gel penghantar listrik. Kemudian pada layar komputer kita dapat melihat gelombang aktivitas otak yang memiliki karakteristik yang khas. Sinyal yang diukur EEG sangat lemah karena harus menembus tulang, otot dan kulit kepala.

Besaran sinyal EEG hanya sekitar 50-100 mikroVolt yaitu sekitar 20.000 kali lebih kecil dari tegangan baterai AA 1.5 Volt. Hal ini menyebabkan sinyal EEG sangat mudah untuk terkontaminasi oleh sinyal lain. Kerumitan seperti ini yang membuat kita, tanpa penelitian yang lebih saintifik, sulit memastikan apakah yang ditangkap oleh alat Tawan adalah sinyal otak atau sinyal lain seperti sinyal otot mata atau otot kepala. Terlebih lagi, alat yang dirancang Tawan tidak terlihat memiliki elektroda dan gel yang diperlukan untuk menangkap sinyal EEG.

EEG merupakan teknik populer yang digunakan untuk BCI tetapi teknik ini mengukur aktivitas otak dari ribuan neuron. Untuk mengukur aktivitas otak dari beberapa neuron dapat dilakukan pembedahan untuk meletakkan elektroda yang bersentuhan secara langsung dengan otak. Namun implan yang ditanam di dalam otak tidak bisa mengukur sinyal yang bagus dalam jangka panjang. Oleh karena itu desain elektroda yang dapat ditanam dalam otak menjadi salah satu tantangan utama untuk dapat memajukan neurosains dan BCI.

Tantangan pengembangan Brain-Computer Interface (BCI)

Selain pemahaman neurosains dan teknik perekaman yang masih terbatas, ada beberapa tantangan lain yang dihadapi pengembang Brain-Computer Interface (BCI). Bagaimana sinyal yang digunakan dapat mengendalikan tangan robotik yang kompleks dengan banyak arah gerakan pada setiap persendiannya? Optimasi pemrosesan sinyal BCI menjadi salah satu kunci kesuksesan BCI. Saat ini teknologi BCI yang tersedia kurang intuitif dan membutuhkan waktu latihan yang cukup lama sebelum dapat digunakan oleh pemakai. Tantangan praktis adalah bagaimana bisa menciptakan BCI yang portabel dan memiliki cukup baterei.

Untuk menjawab tantangan Brain-Computer Interface (BCI) di atas dibutuhkan kolaborasi interdisipliner dari berbagai bidang sains dasar maupun aplikatif seperti bidang neurosains, kedokteran, teknik dan informatika. Berbagai keahlian jelas dibutuhkan untuk menciptakan prostesis, perangkat keras dan lunak, memanfaatkan ilmu neurosains, dan mengaplikasikannya bagi pasien. Namun lebih penting lagi, adalah bagaimana komitmen pemerintah dan tersedianya pembiayaan bagi penelitian BCI.

Teknologi yang diciptakan Tawan tampaknya belum membuktikan bahwa Indonesia telah melahirkan teknologi Iron Man. Akan tetapi semoga kreativitas Tawan menginspirasi anak bangsa Indonesia lainnya untuk ikut serta dalam pengembangan BCI yang bertaraf dunia yang dapat dipertanggungjawabkan secara saintifik.

 

Damar Susilaradeya, MRes Neurosains

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun