Besaran sinyal EEG hanya sekitar 50-100 mikroVolt yaitu sekitar 20.000 kali lebih kecil dari tegangan baterai AA 1.5 Volt. Hal ini menyebabkan sinyal EEG sangat mudah untuk terkontaminasi oleh sinyal lain. Kerumitan seperti ini yang membuat kita, tanpa penelitian yang lebih saintifik, sulit memastikan apakah yang ditangkap oleh alat Tawan adalah sinyal otak atau sinyal lain seperti sinyal otot mata atau otot kepala. Terlebih lagi, alat yang dirancang Tawan tidak terlihat memiliki elektroda dan gel yang diperlukan untuk menangkap sinyal EEG.
EEG merupakan teknik populer yang digunakan untuk BCI tetapi teknik ini mengukur aktivitas otak dari ribuan neuron. Untuk mengukur aktivitas otak dari beberapa neuron dapat dilakukan pembedahan untuk meletakkan elektroda yang bersentuhan secara langsung dengan otak. Namun implan yang ditanam di dalam otak tidak bisa mengukur sinyal yang bagus dalam jangka panjang. Oleh karena itu desain elektroda yang dapat ditanam dalam otak menjadi salah satu tantangan utama untuk dapat memajukan neurosains dan BCI.
Tantangan pengembangan Brain-Computer Interface (BCI)
Selain pemahaman neurosains dan teknik perekaman yang masih terbatas, ada beberapa tantangan lain yang dihadapi pengembang Brain-Computer Interface (BCI). Bagaimana sinyal yang digunakan dapat mengendalikan tangan robotik yang kompleks dengan banyak arah gerakan pada setiap persendiannya? Optimasi pemrosesan sinyal BCI menjadi salah satu kunci kesuksesan BCI. Saat ini teknologi BCI yang tersedia kurang intuitif dan membutuhkan waktu latihan yang cukup lama sebelum dapat digunakan oleh pemakai. Tantangan praktis adalah bagaimana bisa menciptakan BCI yang portabel dan memiliki cukup baterei.
Untuk menjawab tantangan Brain-Computer Interface (BCI) di atas dibutuhkan kolaborasi interdisipliner dari berbagai bidang sains dasar maupun aplikatif seperti bidang neurosains, kedokteran, teknik dan informatika. Berbagai keahlian jelas dibutuhkan untuk menciptakan prostesis, perangkat keras dan lunak, memanfaatkan ilmu neurosains, dan mengaplikasikannya bagi pasien. Namun lebih penting lagi, adalah bagaimana komitmen pemerintah dan tersedianya pembiayaan bagi penelitian BCI.
Teknologi yang diciptakan Tawan tampaknya belum membuktikan bahwa Indonesia telah melahirkan teknologi Iron Man. Akan tetapi semoga kreativitas Tawan menginspirasi anak bangsa Indonesia lainnya untuk ikut serta dalam pengembangan BCI yang bertaraf dunia yang dapat dipertanggungjawabkan secara saintifik.
Â
Damar Susilaradeya, MRes Neurosains
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H