Kali ini, masih membicarakan soal jurnalisme multimedia. Kalau kamu ditanya, kira-kira apa sih perbedaan yang paling kelihatan antara jurnalisme tradisional dengan sekarang?Â
Produksi dan Konsumsi Konten yang Berbeda
Sebelum teknologi berkembang begitu cepat, media hanya terbatas pada Televisi, Surat Kabar, dan Radio. Ketiganya memiliki fungsi yang berbeda. Konten dari ketiga media lawas tersebut juga tentu berbeda.Â
Rasanya dahulu tidak akan ada pemikiran untuk menyatukan keseluruhannya. Namun, sekarang semua dimungkinkan. Terlebih dengan adanya Jurnalisme Multimedia. Tapi, coba kita nostalgia dulu.Â
Kalau Televisi hadir dengan gambar bergerak (video) dan suara (audio), koran atau surat kabar berbanding terbalik. Pada halaman koran kita kita hanya bisa melihat tulisan dan beberapa foto atau gambar yang diambil oleh jurnalis. Tapi mungkin di masa depan, akan ada koran yang bisa kita sentuh dan memainkan video, ya siapa tahu kan..Â
Televisi saat ini dikalahkan dengan Youtube. Bahkan salah satu penyanyi jebolan Youtube mengumandangkan, "Youtube Youtube Youtube lebih dari TV boom!". Nyatanya, hal ini memang terbukti. Banyak data survei yang membuktikan kalau konsumsi media masyarakat Indonesia ya sekarang kebanyakan Youtube. Bukan lagi Televisi.Â
Koran atau surat kabar saat ini juga tidak lagi perlu dibalik seperti dulu. Tugas kita kalau membaca surat kabar elektronik saat ini hanyalah nge-scroll. Kalau ada gambar yang mau diperbesar, bisa diklik. Kalau ada video yang mau ditonton, bisa diklik.Â
Sudah sangat jauh berbeda dari zaman kakek buyut kita yang mengonsumsi surat kabar dengan kedua tangan terbuka sambil menikmati kopi pagi hari. Apalagi bapak-bapak satu kelurahan yang berdiri di Kantor Desa untuk membaca koran yang dipasang dalam lemari kaca. Hayo, pernah tahu atau nggak?Â
Radio yang digadang menjadi teman banyak kalangan juga memiliki fokus yang berbeda, yakni suara (audio) saja. Inilah mengapa penting bagi penyiar radio untuk memiliki intonasi dan nada bicara yang apik. Sehingga akan muncul theater of mind dalam diri pendengarnya.Â
Sebentar, ada yang pernah mendengar drama radio? Itu adalah salah satu hal yang kalau jaman sekarang, bisa ada di number one chart di layanan musik digitalmu! Banyak sekali orang suka. Kalau sekarang, mungkin sudah hadir podcast, dan lain sebagainya.Â
Konsumsi Semaunya, Produksi Sebisanya
Media yang dikonsumsi dengan cepat harus bisa memproduksi dengan cepat pula. Kurang lebih itulah gambaran arus produksi dan konsumsi media saat ini. Terlebih dalam platform media dalam jaringan.Â
Sayangnya, kecepatan itu tidak diimbangi verifikasi berita yang baik oleh media. Jadi, beberapa berita terkadang tidak dipastikan kebenarannya dan menimbulkan hoax.Â
Tantangan yang hadir bagi para jurnalis adalah memproduksi konten multimedia.Â
Jurnalisme multimedia adalah praktik jurnalisme yang melibatkan multimedia (audio, video, foto, grafik informasional, grafik gerak) untuk mendukung konten berita (McAdams, 2014). Â
Tujuan multimedia adalah informasi yang diberikan kepada pembaca lebih lengkap atau utuh. Setiap media yang digunakan, harus koheren dalam menyampaikan suatu topik permasalahan.
Produksi konten multimedia tentu membutuhkan pola pikir dan keterampilan. Kalau si jurnalis hanya bisa menulis, siapa yang mengedit video? Kalau jurnalis hanya bisa bicara, siapa yang menulis dan mengedit audio atau bahkan membuat desain infografis?Â
Jurnalis Harus Kerja & Belajar Bagai Quda
Demi membantu pembaca memahami cerita yang ingin disampaikan jurnalis, multimedia akan sangat diperlukan. Namun, sayangnya berdasarkan hasil riset yang dilakukan kepada jurnalis, persoalan keterampilan multimedia baru menjadi kebutuhan paling mendesak sekitar 29.000 orang jurnalis. Keterampilan ini tentu seputar menghasilkan konten multimedia.Â
Ini menjadi salah satu konsekuensi yang harus ditelan oleh jurnalis di Indonesia. Proses verifikasi harus lebih baik, dibarengi kemampuan atau keterampilan multimedia yang mumpuni. Kebayang tidak harus seperti apa para jurnalis di luar sana bekerja?Â
Dalam konteks Indonesia, sebetulnya hal multimedia ini dapat dimulai terlebih dahulu dari hal sederhana. Artikel berjudul (Re)defining Multimedia Journalism (McAdams, 2014) menyampaikan ada satu teknik yang sederhana dan dapat dimaksimalkan terlebih dahulu.Â
Maksud artikel tersebut adalah dengan menggunakan Parallax Scrolling. Teknik ini sudah lama ditemukan, namun belum digunakan maksimal oleh media untuk membantu praktik Jurnalisme Multimedia.Â
Kalau kamu ingin tahu lebih lanjut soal fitur menarik yang aplikatif ini, silakan menonton video 60 detik di bawah ini ya!Â
Storytelling Untuk Mengambil Banyak Hati
Artikel atau berita yang banyak menarik perhatian adalah yang mengandung sisi human interest. Human interest adalah instrumen untuk meraih perhatian publik. Kok bisa?Â
Hal ini disebabkan poin human interest terhubung dengan sifat alami manusia yang membutuhkan informasi emosional untuk bertahan hidup (Davis dan McLeod, 2003). Inilah mengapa audiens lebih mudah menangkap berita cerita daripada berita data.Â
Inilah mengapa selalu ditekankan untuk menjadi storyteller dalam menyampaikan berita atau menulis artikel. Meraih emosi publik melalui cerita, akan lebih memungkinkan peran media dapat dilaksanakan dengan efektif.
Sudah tahu bedanya, tantangan jurnalisnya, dan sedikit yang harus dilakukan jurnalis, sudah cukup? Belum! Kira-kira apalagi ya? Yuk, simak thread Twitter lewat tautan ini!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H