Banyak orang terkecoh dengan kemiripan jurnalisme online dan jurnalisme multimedia. Padahal, keduanya adalah hal yang berbeda. Jurnalisme online belum tentu multimedia. Sementara jurnalisme multimedia cenderung akan online. Jadi sebetulnya apa itu jurnalisme multimedia?
Kalau masih bingung, tidak apa, namanya juga masih awal dan mencerna. Yuk, kita lanjutkan supaya jelas!
Memahami Arti "Multimedia"
Secara sederhana, jurnalisme online dan multimedia memang berbeda. Jurnalisme online belum tentu memenuhi karakteristik multimedia. Sementara, praktik jurnalisme multimedia biasanya dilakukan secara daring.
Kalau ingin membaca soal ini lebih lanjut, silakan membaca artikel "Terdengar Serupa tapi Tak Sama, Ini Perbedaan Jurnalisme Online dan Multimedia".
"Multimedia" dalam konteks pembahasan jurnalistik tidak sekadar menggunakan banyak media. Namun, bagaimana banyak media tersebut dielaborasikan untuk menyampaikan informasi yang utuh.
"Multimedia" menurut Mark Deuze (2004) memiliki beberapa poin penting definisi. Poin tersebut seputar penyajian paket berita, menggunakan dua format media/lebih, dan terintegrasi.
Jurnalisme Multimedia dapat disederhanakan sebagai sebuah penyajian berita, yang menggunakan lebih dari dua format media. Media yang digunakan berfungsi untuk saling melengkapi informasi, bukan tumpang tindih informasi.
Media yang terintegrasi antara satu dengan yang lain menjadikan jurnalisme multimedia menjadi maksimal. Informasi yang diberikan bisa berupa tulisan (artikel), gambar (visual), audio (suara), bahkan video (suara-visual).
Sejauh ini sambil mencerna, pertanyaannya adalah berarti Televisi atau radio juga termasuk multimedia ya?
Televisi maupun radio tidak termasuk dalam multimedia. Dalam pengembangannya, kedua platform tersebut tidak menggunakan lebih dari tiga format media.
Beragam format media dan informasi yang diberikan diintegrasi melalui tautan atau link yang digunakan untuk berpindah dari satu format media ke media lain. Inilah mengapa praktik jurnalisme multimedia cenderung dalam jaringan (daring).
Logika Media
Konsep logika media dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik profesional media online dalam hal tertentu. Misalnya bagaimana mereka mendeskripsikan dan mengevaluasi sendiri kompetensi, atribut, dan fitur mereka.
Dalamnya dengan istilah "Multimedia", Mark Deuze (2004) dalam artikelnya dengan tajuk "What is Multimedia Journalism?"Â memberikan penjelasan soal tiga elemen penting logika media.
- Institutional Perspective: Sesuai dengan namanya, perspektif kelembagaan erat kaitannya dengan bagaimana pelaksanaan atau penyelenggaraan institusi media. Mulai dari kerjasama dengan pihak jurnalis maupun non-jurnalis, cross-media dalam kaitannya dengan proyek pemasaran dan manajemen tertentu, bagaimana membentuk strategi penelitian serta pengembangan, dan beberapa hal lain seputar peraturan industri hingga serikat pekerja.
Producer or user perspective: Perspektif ini berkaitan dengan kompetensi budaya melalui sudut pandang pengguna maupun produsen berita. Kecepatan publikasi oleh jurnalisme multimedia yang tidak didukung dengan proses verifikasi membuat elemen ini menjadi rancu.
Technological & Organizational perspective: Elemen logika multimedia terakhir terletak pada perspektif teknologi dan organisasinya. Cakupan elemen ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan teknis dalam organisasi. Teknis yang dimaksud mulai dari anggaran, cara kerja secara individu maupun grup, dan sebagainya. Hal-hal inilah yang menjadi elemen penting terakhir dalam logika media.
"Multimedia" Tidak Sesempurna Kedengarannya
Jurnal Mark Deuze (2004) juga menjelaskan bahwa "multimedia" berdampak pada praktik dan persepsi diri jurnalis. Lebih jauh bahkan terkait bagaimana proses ini membentuk dan memengaruhi munculnya identitas profesional jurnalisme multimedia.
Mengapa demikian? Hal ini kembali lagi karena proses verifikasi dalam praktik jurnalisme multimedia masih sangat minim. Saat ini, media yang menggunakan dua format media saja sudah cukup kewalahan dengan derasnya arus informasi, apalagi jika harus lebih dari dua, bukan?
Jurnalis harus memanfaatkan waktu lebih baik untuk mengerahkan kemampuan dan tenaganya dalam proses penulisan berita. Mulai dari pengumpulan informasi, proses verifikasi, hingga pengemasannya.
Inilah mengapa di Indonesia praktik jurnalisme multimedia masih belum maksimal. Biasanya proses praktik jurnalisme multimedia akan memakan waktu lebih banyak daripada jurnalisme pada umumnya.
Hal ini tentu dapat menjadi mata pisau ganda bagi konsumen informasi atau masyarakat. Kita, sebagai makhluk yang butuh bertahan hidup melalui informasi, harus turut memastikan sendiri apakah informasi yang diterima sudah benar atau belum.
Minimnya verifikasi dari pihak jurnalis maupun media, memaksa kita mencari tahu lebih lanjut dari sumber yang juga terpercaya soal kebenaran berita tersebut. Jadi, jurnalisme multimedia yang terlihat sebagai pengembangan belum tentu sempurna juga, bukan?
Salah menerima dan meyakini informasi, bisa-bisa kita menjadi penerus pesan hoax dan menimbulkan keresahan bagi sekitar kita. Inilah mengapa praktik jurnalisme multimedia harus sangat diperhatikan oleh media.
Semoga sejauh ini kamu tidak bingung dengan pembahasan soal "multimedia" ya! Harapannya tentu pendalaman konsep ini menjadi menyenangkan dan menambah wawasan kita soal apa yang sering kita konsumsi dalam keseharian kita.
Menarik bukan pembahasan kali ini? Konsep "multimedia" ternyata bukan hanya sekadar online-online dan membagikan berita dalam banyak platform, namun jauh lebih dalam dari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H