Mohon tunggu...
Damarra Kartika
Damarra Kartika Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan Konsentrasi Studi Komunikasi Massa dan Digital Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Krisis Jurnalisme Multimedia di Indonesia Lewat Kacamata Jurnalis

26 Oktober 2020   09:51 Diperbarui: 11 November 2020   20:30 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:  journalismresearchnews.org 

Jurnalisme multimedia termasuk dalam "barang langka" di Indonesia. Pada kesempatan kali ini saya mendapatkan kesempatan melakukan wawancara dengan Bob Alam (29 tahun, Wartawan Tribun) atau saya sapa, Kak Alam. Ia menemani saya untuk memberikan validasi dan penjelasan atas data-data yang saya temukan di internet terkait hal ini. 

Pada era perkembangan teknologi yang semakin luar biasa, mengapa praktik jurnalisme multimedia masih sulit ditemui di Indonesia? 

Jurnalisme Online vs Jurnalisme Multimedia

Praktik jurnalisme multimedia diawali dengan kehadiran jurnalisme online. Sama-sama terintegrasi dengan internet, apa perbedaan signifikan dari keduanya? 

Jurnalisme online merupakan praktik jurnalistik yang mampu menghadirkan beragam media dalam satu halaman artikel. Namun, banyaknya media tidak menjadi tuntutan utama bagi jurnalisme online. Hal ini juga disebabkan menurut Arifin (Margianto & Syaefullah, 2019), karena jurnalisme online memiliki esensi dan kekhasan yang berkaitan dengan kecepatan. Tidak perlu lengkap, yang penting cepat! 

Sementara itu sesuai namanya, jurnalisme multimedia dalam Buku Ajar Jurnalisme Multimedia (Widodo, 2020) berarti menghadirkan minimal tiga media pada satu halaman artikel. Tiga media yang disajikan bersifat komplementer atau saling melengkapi informasi satu sama lain, bukan mengulang. Apabila tidak terdapat minimal tiga media, maka hal tersebut bukanlah praktik jurnalisme multimedia. 

"Kompetisi Adu Cepat" Ala Perusahaan Media Online 

Menurut data Kominfo (Mursid, 2020), pengguna internet di Indonesia per tahun 2020 adalah sebanyak 175,5 juta pengguna. Angka yang menjanjikan dalam prospek bisnis di dunia maya, termasuk bisnis media di Indonesia. 

Sebagian internet diakses melalui handphone, sehingga dapat diasumsikan pengaksesnya menyaksikan layar hanya dalam ukuran kecil. Sebanyak 67% dari 100% pengakses menggunakan internet untuk mencari informasi, termasuk berita. 

Sumber: freepik.com 
Sumber: freepik.com 

Orang yang membaca dengan gawai juga diasumsikan memiliki waktu yang singkat, tetapi ingin mendapat informasi secara cepat. Karenanya, salah satu strategi yang digunakan media online adalah penulisan yang singkat dengan judul clickbait untuk meraih pageview atau traffic. 

Kak Alam turut membenarkan hal ini, katanya, "Karena perusahaan media berharap dari keuntungan adsense yang didapat, makanya kadang clickbait pada suatu berita sering ditemukan. Ya itu tujuannya untuk mencari pembaca sebanyak-banyaknya". 

Pageview dan traffic merupakan hal penting dalam bisnis media online karena itulah sumber kehidupan mereka. Kedua hal ini akan berdampak pada perolehan iklan masuk perusahaan. 

Sumber: smartocto.com 
Sumber: smartocto.com 

Maka tidak heran jika "Kompetisi Adu Cepat" yang dibahasakan dalam buku Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika (Margianto & Syaefullah, 2019), menjadi sengit dalam bisnis media online. 

Proses uji berita berupa verifikasi dan konfirmasi tidak lagi jadi hal penting. Bahkan kini, proses tersebut berbentuk berita itu sendiri. Hal ini diafirmasi oleh Kak Alam. "Ya itu berimbas pada tulisan yang dihasilkan wartawan, seperti Tribun juga menerapkan kecepatan dalam pemberitaan. Karena media seperti Detik, Tribun, Kompas, itu berbasis pada Google Analitik, atau biasanya disebut penghamba Google", ujarnya menanggapi akurasi yang merupakan implikasi dari "Kompetisi Adu Cepat" media online di Indonesia. 

Siapa Cuan Dia Bertahan

Kak Alam yang sudah kurang lebih hampir 4 tahun berkecimpung di dunia media, sempat mengutarakan kegagalan bisnis medianya bersama seorang teman. "Dulu pernah bantu teman bangun media online, tapi bertahan kurang lebih satu tahun saja. Kendala di pendanaan", jelasnya sambil mengenang cerita. 

Salah satu yang harus kuat menjadi penopang bisnis media adalah uang atau keuntungan, yang dalam bahasa pergaulan secara sederhana disebut "cuan". Ketika pemilik media tidak memiliki modal yang cukup banyak, maka media tersebut dalam persaingan dengan raja media lainnya pasti akan cukup mengkhawatirkan. 

Cerita ini tidak satu dua kali kita dengar atau baca. Kerap kali hal ini terjadi. Kepemilikan bisnis media mengakar kuat bersama dengan praktik konglomerasi media. Dua belas raja media yang kini berkuasa tertera dalam video berikut beserta keterangannya. Apakah bisa terbaca peluang kemungkinan New Comer Media bertahan? 

"Waktu" Jurnalis Dimakan "Waktu" Perusahaan

Untuk menyajikan produk jurnalisme multimedia, seharusnya memakan waktu yang cukup panjang. Jurnalis harus mengumpulkan, memproduksi, dan mempublikasi informasi sesuai dengan alur produksi berita. 

Apabila hal tersebut sudah maksimal, maka rasanya bukan tidak mungkin praktek jurnalisme multimedia dapat berkembang di Indonesia. Bagaimana produk jurnalisme multimedia bisa terwujud kalau "waktu" yang dibutuhkan jurnalis sama dengan "waktu" yang menjadi taruhan dalam "Kompetisi Adu Cepat" media online? 

Imaduddin dalam artikel Kegagapan Digital dan Bunuh Diri Perlahan Jurnalisme memberikan data produksi artikel jurnalis pada tahun 2018. Seorang jurnalis bertanggung jawab menulis lima hingga sepuluh artikel per harinya. Kini, Kak Alam mengungkapkan jumlah serupa juga masih harus "dikejar" oleh para jurnalis. 

"Ya, untuk di Tribun sendiri wartawan dituntut satu hari delapan berita. Kalau dulu masih fokus pada cetak (koran), wartawan hanya berkewajiban 4 berita lengkap", ujarnya memvalidasi angka yang saya dapat. 

Perlombaan waktu antar media online mengakibatkan jurnalis turut kehilangan waktu untuk menyusun berita sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 3 KEJ menyatakan, "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah". 

Cross Content dan "Jam Istirahat" Jurnalis Media Online  

Cross content antar anak perusahaan media masih kerap terjadi. Ketika saya bertanya seputar hal ini, Kak Alam mengaku pernah mengalaminya. "Pernah, kalau itu. Kalau nggak salah kayak berita WNI yang dipekerjakan di kapal ikan China. Harusnya kita nulis satu dan terbit di lain dapat keuntungan atau fee. Tapi ya perusahaan media selalu berdalih karena mereka satu jaringan. Mereka sudah melakukan pembayaran hak karyawan sesuai dengan standar pengupahan. Karyawan dibayar sesuai ketentuan, bukan per berita", terang Kak Alam. 

Melihat puluhan bahkan ratusan berita terunggah setiap jamnya, membuat saya terusik. Apakah jurnalis memiliki "Jam Istirahat" atau hanya istirahat sesempatnya? Bisa jadi colongan atau disempat-sempatkan. 

Sumber: bandt.com.au 
Sumber: bandt.com.au 

Berdasarkan penjelasan Kak Alam pada saat wawancara, jurnalis pun masih merasakan dilema ketika menulis terkait kenaikan gaji, atau mogok buruh terkait meminta pengupahan yang layak. Salah satu faktor yang turut menyebabkan dilema ini adalah kategori pengupahan yang tidak diketahui masuk bagian mana. "Memperjuangkan hak sendiri saja masih dilematis. Apalagi kita lihat, reporter kan nggak ada jam kerjanya", pungkasnya. 

Kapan Jurnalisme Multimedia "Naik Daun" di Indonesia? 

Berdasarkan teori dan sedikit hasil wawancara dengan Kak Alam, kita dapat mengambil benang merah. Praktik jurnalisme multimedia di Indonesia masih belum maksimal. Selain karena "Kompetisi Adu Cepat" bisnis media, waktu yang dimiliki jurnalis untuk mengelola berita sangatlah terbatas. 

Menggabungkan dua media saja diburu-buru, lantas bagaimana harus menggabungkan minimal tiga media demi kelengkapan informasi? Mungkin jurnalisme multimedia masih menjadi angan masa depan bagi Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun