"Oi banci! Kiw kiw.. Hahahaha.."Â
Pernah dengar dialog tersebut? Atau sudah menonton film yang ada pada judul? Keep scrolling karena mungkin ini akan menggeser cara pandangmu terkait manusia dalam bungkus "banci" dan "santri".Â
Relasi Banci dan Santri yang Bukan Ilusi Â
Film berdurasi 1 jam 16 menit ini mendapatkan rating yang cukup tinggi pada IMDb, yakni 7.3/10. Semenarik itukah? Cerita tentang relasi antara sosok ayah dan anak perempuan memang cenderung emosional. Kalau dilihat dari posternya saja, bahkan yang belum menonton bisa menerka dengan jitu. "Bapaknya banci anaknya berhijab?". Tidak hanya sampai situ, realita yang lebih mengherankan adalah Cahaya (Raihaanun) , sang anak, merupakan seorang santri.Â
Hubungan ayah dan anak perempuan dikemas dalam rupa realitas yang bertolak belakang. Pemikiran sederhana Cahaya untuk mencari Ipuy (Donny Damara) ayahnya, mengajarkan untuk kembali tidak berekspektasi apapun pada siapapun. Ayah yang tidak pernah ditemuinya dalam belasan tahun terakhir, ternyata hadir dalam rupa yang tidak pernah dibayangkan, yakni "banci".Â
Banci yang Digolongkan Dalam "Spesies" Badut dan DilecehkanÂ
Kita hidup di Indonesia. Negara yang ternama karena keberagaman dan Bhinneka Tunggal Ika. Maka seharusnya, tanpa pandang bulu dan rupa, kita menghargai sesama manusia. Apapun bentuk dan rupanya. "Banci" atau lebih objektif disapa sebagai transpuan, adalah seseorang yang terlahir dengan alat reproduksi laki-laki, dilabeli orang lain sebagai laki-laki, namun mengidentifikasi diri sebagai perempuan. Sebelum berlanjut, apakah kemudian seluruh transpuan memang dengan sengaja mengidentifikasi diri demikian? Apakah mereka dengan rela dan sengaja menjadikan diri mereka objek tertawaan dan disapa "Oi banci!".Â
Jawabannya adalah tidak. Meninjau berita dari Bogor, Batam, dan Jakarta, kesaksian beberapa transpuan ialah mereka melakukan pekerjaan ini secara terpaksa. "Kenapa nggak mencoba pekerjaan lain?". Pasti rata-rata akan menjawab sudah pernah, tetapi hasil yang didapatkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maka yang mereka lakukan adalah mencari nafkah. Berusaha, sama seperti dengan manusia lainnya, dengan cara yang berbeda.Â
Katanya Indonesia memang banyak perbedaan, tapi mengapa ketika hal tersebut bergema, yang lain justru sibuk meronta dan menuntut menjadi sama ?Â
Seolah berperan sebagai badut penghibur, mereka sering ditertawakan, dijadikan bahan ejekan dan cibiran, bahkan dilecehkan. Salah satu scene dalam Lovely Man ialah Ipuy tertangkap oleh salah seorang klien bersama beberapa bodyguardnya setelah kedapatan mencuri sejumlah uang. Tidak berhenti sampai dipukuli dan disakiti secara verbal seperti, "Satu banci mati, nggak bakal ada yang peduli kan?" , yang terjadi selanjutnya bahkan membuat saya meneteskan air mata. Ipuy dalam kelemahannya "dipakai" oleh salah satu bodyguard untuk memuaskan nafsunya.Â
Siapa yang lebi tidak memanusiakan manusia?Â
Stereotype "Banci" dan "Santri" yang Menghilangkan Kemanusiaan