Debat calon Bupati dan Wakil Bupati putaran ketiga berjalan lumayan seru, agak berbeda dengan dua putaran sebelumnya yang cenderung datar. Tensi sedikit agak naik ketika Sri Muslimatun dan Amin Purnama, pasangan nomor urut dua, “digencet” dari kanan dan kiri tentang salah satu programnya.
Sri Muslimatun dan Amin Purnomo, yang mengusuh tagline jualan mbangun dusun nganti wangun menjanjikan dana 100 juta per dusun per tahun. Sebuah “janji ala-ala” yang biasa kita temui di babakan calon pemimpin daerah untuk menggaet pemilih yang tidak terlalu melek “jeroan” pemerintahan, dalam hal ini ABPD.
“Menjanjikan uang memang salah satu trik paling mudah dilakukan untuk membius para pemilih,” kata salah satu guru saya dahulu. Bagaimana tidak, nominal yang tercantum, dan biasanya nilainya besar, akan sangat mudah membuat orang berpaling dan menimbulkan rasa penasaran yang besar.
Banyak orang seperti diberi “mimpi” akan sebuah perubahan. Padahal, yang namanya mimpi, antara belum pasti dan tidak mungkin terwujud. Strategi bagi-bagi duit dipilih ketika calon pemimpin daerah tidak mampu menerjemahkan situasi dan membahasakanya ke dalam visi, misi, dan program nyata. Ujungnya, rakyat yang jadi korban. Politisi jualan mimpi, rakyat yang gigit jari.
Sri Muslimatun menegaskan bahwa dana 100 juta per dusun per tahun akan disalurkan melalui Badan Usaha Milik Dusun (Bumdus).
Logika sederhana: sebelum dana disalurkan, harus sudah ada BUMDus di setiap dusun. Bagaimana jika di dusun belum ada Bumdus? Tentu saja harus dibangun terlebih dahulu. Nah, di titik ini, Sri Muslimatun dan Amin Purnomo tidak peka dan realistis dengan keadaan yang tengah terjadi.
Kabupaten Sleman mempunyai 1,212 jumlah dusun. Artinya, dalam waktu singkat, pasangan nomor urut 2 ini harus membangun Bumdes sejumlah banyaknya dusun. Di sini kita tidak berbicara “sekadar ada”, tetapi Bumdus yang dibangun harus well corporate, atau menjadi sebuah badan yang profesional untuk menerima siraman duit 100 juta per dusun per tahun.
Sejauh yang saya tahu, Bupati Sleman saat ini, Sri Purnomo, ahli di bidang strategi keuangan dan pemerintahan. Di periode kedua masa kepemimpinan Sri Purnomo, dari 86 desa, lahir 61 Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), dengan 50 yang sifatnya aktif, sementara yang lain sedang berkembang.
Catatan di atas tidak berbicara soal kualitas kepemimpinan, tetapi kenyataan di lapangan. Memimpin sebuah wilayah bukan main sulap dan tebar janji-janji manis. Apalagi Sri Muslimatun mengaku sudah “magang bupati” dan terlibat di dalam proses yang sudah terjadi.
Untuk membangun sebuah Bumbus yang well corporate, sebuah payung hukum harus ada. Pengurusan payung hukum tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, kurang lebih butuh satu tahun penuh. Bagaimana bisa, dalam waktu singkat, misalnya 3 tahun masa kepimpinan, Sri Muslimatun dan Amin Purnama bikin 1,212 well corporate Bumdus?
Warga Sleman harus tahu satu hal lagi. Saat ini, derajat kepemerintahan terendah adalah desa. Dusun belum termasuk ke dalam sistem yang diakui pemerintah pusat. Jadi, di dusun, belum ada payung hukum.
Bahasan singkat di atas baru soal sulitnya membangun 1.212 Bumdus yang well corporate untuk menerima dana 100 juta per dusun per tahun. Kita belum masuk ke dalam perhitungan kasar soal APBD di mana program Sri Muslimatun dan Amin Purnama makin tidak realistis.
Proyesi APBD Sleman saat ini senilai 3,2 triliun. Dari PAD (Pendapatan Asli Daerah) ditarget masuk 1,1 triliun. Namun, kenyataannya, KARENA PANDEMI, hanya 40 persen PAD yang masuk. Dari DAU (Dana Alokasi Umum), masuk 2,1 triliun. Dana dari pusat dan DAK (Dana Alokasi Keistimewaan) memang sudah turun juga.
Namun, jika mempertimbangkan kesulitan karena PANDEMI, realisasi APBD Sleman cuma sekitar 50 persen lebih sedikit. Satu hal yang perlu dicatat oleh calon pemilih di Pilkada 2020 adalah Sleman mengalami devisit anggaran sebesar 5,6 persen karena pandemi. Kondisi yang juga dialami banyak daerah dan mau tidak mau harus ditanggung oleh pemimpin selanjutnya.
Selama 3 tahun ke depan, pemimpin daerah perlu bekerja sangat keras untuk menstabilkan kondisi ekonomi. Apalagi, sudah terjadi resesi di Indonesia. Kalau realisasi ABPD bisa sampai 65 persen saja Sleman baru bisa “bernafas lega”. Menjalankan roda pemerintahan dan memperhatikan kesejahteraan rakyat bisa dijalankan dengan rasa lega.
Nah, kalau kondisinya seperti itu, kalau dalam situasi normal saja sudah sangat sulit mewujudkan 100 juta per dusun per tahun, bagaimana melakukannya dalam masa pandemi dan resesi? Per tahun, Sri Muslimatun dan Amin Purnama HARUS MENYEDIAKAN 100 miliar lebih untuk angin surga ini dengan tanpa membenani APBD yang sedang dihantam pandemi dan resesi. Mampu melakukannya?
Saat ini, akan sangat lebih bijak jika warga tahu kenyataan yang terjadi. Kesadaran akan kondisi membuat semua warga Sleman bisa bersiap. Bahkan jika siap jauh hari, warga bisa saling membantu, gotong royong, tanpa perlu menebar janji manis. Rakyat Sleman harus diajak bertahan hidup, bukan dijanjikan angin surga.
Politisi jualan mimpi, ujung-ujungnya rakyat yang gigit jari....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H