Seorang profesor New York University, Girad Lotan, memberi gambaran echo chamber:
“We construct our online profiles based on what we already know, what we’re interested in, and what we’re recommended, social networks are perfectly designed to reinforce our existing beliefs.”
Bupati Sleman, sosok yang sedang menjabat dan istrinya, Kustini Sri Purnomo, yang akan maju di Pilkada 2020 adalah echo chamber yang ideal. Keduanya bisa didekati dan diminta untuk terus “berkampanye” soal ketahanan pangan di tengah pandemi. Kalau “kampanye” yang ditawarkan positif, tentunya bakal menguntungkan mereka juga.
Karang taruna juga bisa mendekati lawan Kustini Sri Purnomo di Pilkada Sleman kelak. Namun, karena belum ada semacam “deklarasi” lawan Kustini, ya mari pepet Bupati Sleman dan Kustini Sri Purnomo dulu saja untuk dijadikan “gaung” soal ketahanan pangan. Jadi, makin banyak calon yang ikut Pilkada Sleman nanti, bakal semakin asyik untuk karang taruna menggaungkan idenya.
Minta keduanya untuk terus “berkampanye” soal kemandirian pangan. Apalagi Kustini Sri Purnomo sering mengingatkan kita untuk “nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur.” Bukankah sudah cocok dengan usaha mempertahankan indeks ketahanan pangan Kabupaten Sleman?
Karang Taruna punya potensi yang besar, misalnya mengumpulkan orang, untuk penyuluhan cara-cara menanam. Menunggu kebijakan dari Bupati Sleman, misalnya, akan terlalu lama. Dieksekusi dulu saja. Diawali. Siapa tahu Bupati Sleman dan istrinya, Kustini Sri Purnomo menyambut baik usaha tersebut dan menjadi sponsor.
Kedua, wujud nyata digital native
Anak-anak muda yang tergabung dalam Karang Taruna adalah digital native. Sekumpulan anak muda yang terpapar perkembangan dunia digital. Bagaimana cara mewujudkan identitas itu?
Kita harus mau membuka mata, ketika dunia semakin menyusut berkat perkembangan dunia digital, masih banyak manusia di Sleman yang tidak akrab dengan dunia digital. Bahkan bukan orang tua saja. Masih banyak anak muda yang memanfaatkan media sosial sebagai media mempertahankan eksistensi diri saja. Padahal potensinya sangat besar.
Karang Taruna bisa membangun jaringan pasukan lapangan, di mana tiap-tiap kelompok bertugas mengedukasi perkembangan dunia digital. Misalnya dengan mengajari orang soal Instagram for business. Sehingga, hasil kebun pribadi di rumah bisa dipasarkan dengan lebih mudah, tidak bergantung kepada akun-akun khusus yang memang mau jualan hasil kebun.
Bakal lebih asyik kalau Karang Taruna Sleman menginisiasi sebuah website modern, interaktif, dan user friendly sebagai wadah untuk menampung hasil kebun. Yah, kita tahu semua bagaimana kualitas website pemerintah. Terlalu banyak panel dan tidak menarik. Navigasinya terlau ribet.