Makassar, Desember 2019-- Â Saya pernah mendengar sebuah kisah yang senantiasa dituturkan oleh nenek moyang, bahkan menjadi bagian dari isyarat sebuah kehidupan bahwa sesungguhnya yang lama akan datang, dan yang baru akan berganti.
Apakah kita pernah membayangkan bahwa gelombang protes tentu datang dari mana saja, salah satunya adalah masa silam. Kenapa masa silam?Â
Sebuah pasang (Pesan/wasiat) Orang Makassar mengatakan:
Issengi keknang, maknassa antu nikanayya lambusuk tallui rupanna. Makasekrena; malambusuk ri Allahu Taala, Â Makaruanna; malambusuka riparanna tau, iami nikanayya malambusuk riparanna tau tangkaerokia sarenna paranna tau. Makatallunna; malambusuka ri batangkalenna, iami nikana malambusuka ribatang kalenna, angkalitutui bawana ri kana balle-ballea.
Terjemahannya:
Sesungguhnya kejujuran itu ada tiga macam, Pertama; jujur kepada Allah SWT, yakni dengan tidak melalaikan (perintahnya dan menghindari larangannya), Kedua ; jujur kepada manusia, yakni tidak mengharapkan imbalan dari seseorang, Ketiga; jujur pada diri sendiri, yakni dengan senantiasa mengawasi mulut dari perkataan dusta.
1. Jujur Kepada Allah SWT
Apa bentuk kejujuran kita hari ini pada Allah SWT? Seorang Ulama kampung ditanya oleh seorang muridnya?Â
"Wahai Abah, dimana letak kejujuran kita pada Allah?".Ulama kampung itu menjelaskan, bahwa sungguh kejujuran itu terletak pada sebuah hati yang bersih, tidak berada di mulut apalagi dalam pikiran. Kejujuran itu seperti tikus, ia akan tenang ketika kenyang dan bising ketika lapar.
2. Jujur Kepada Manusia
Kejujuran memang dilandasi kebiasaan. Segala bentuk kebohongan akan tertolak bila kita memiliki sikap integritas. Bangsa kita hari ini sedang tidak baik-baik saja, sebeb kenapa, prinsip kejujuran kini hanya menjadi simbol semata, tapi implementasinya nihil.
Korupsi dan pasar kebohongan sepertinya tidak akan pernah tuntas dibincangkan. Kebohongan adalah tempat terbaik bersembunyi, tapi bukan tempat yang baik untuk kita tinggali. Kira-kira demikian perumpamaannya.
3. Jujur Kepada Diri Sendiri
Sering kali kita mendengar istilah, "bergerak dan bekerjalah sesuai isi hatimu". Ini istilah yang memungkinkan kita bertindak untuk jujur pada diri sendiri. Kalau kita kaji secara mendalam, sikap jujur berangkat dari hati yang murni.
Kedalaman hati diukur dari tindak laku dan bisa saja bercermin dari sebuah sikap kejujuran. Kebohongan pada diri senantiasa menggerogoti diri, melanda diri, dan akan membuat kita semakin tidak percaya diri.
Momentum peringatan hari Ibu ini tentu harus jadi cerminan, apakah masa kemerdekaan jiwa telah kita rengut atau belum juga? saya rasa ini menjadi sebuah coretan bahwa pitutur dari ibu akan hidup beriring zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H