"Karna mengangkat derajat bukan semata-mata kayanya bu, aku ingin berbakti"
"Berbakti? Kalau ingin berbakti, menikahlah bersama Tini, itu jalan baktimu pada Ibu"
Kuhela nafasku dalam-dalam, bagai udara berhenti sekejap, dadaku sesak, tak ingin lagi kudebati ibuku hanya persoalan jodohku. Aku menunduk, sedikit tak bisa berkata apa-apa setelah ibu bicara.
Tak berhenti perbincanganku malam itu, ibu menghantarku pada kisah pedihnya dengan bapak. Bagaimana cinta selalu mengandung rahasia dan menua pada kisah masing-masing. Ibuku bercerita tentang kisah cintanya dahulu, ia bercerita bahwa bapak telah mengkhianati kesepakatan bersama ibu. Sejak ibu dan bapak masih saling menyukai, ia tak pernah berpikir akan menikah tanpa restu orang tua. Ibu dan bapak dahulunya menikah siri. Bapak mendengar kabar bahwa Ibu akan dinikahkan dengan tetangganya sendiri, kedua belah pihak telah menentukan hari baiknya, namun bapak bertindak mengejutkan.
" Malam hari, firasat ibu sedang cemas, sepertinya, akan ada lelaki yang mengunjungiku tengah malam nanti, malam pekat tak ada bulan juga bintang. Benar saja, bapakmu datang menemuiku mengendap ke jendela kamarku."
" Oh Andikku, aku datang menjemputmu"
" Maksudnya daeng, Aku tak mengerti"
" Aku ingin membawamu pergi, cinta ini akan memberontak dadaku jika aku berdiam saja. Aku tak rela kau menikah dengan yang lain"
"Tapi daeng, hukum adat keluarga kita begitu keras, kita tak bisa berbuat apa-apa"
"Tidak Andikku, kita akan baik-baik saja. Malam inilah jadi saksi, akan kubawa engkau pergi, cinta tak bisa memilih waktu, ia serahasia malam pekat ini"
Ibuku terdiam, tak ingin melanjutkan ceritanya lagi. Kisah itulah menghantar ibu ingin melihatku menikah dengan Tini, mengadakan kenduri meriah agar keluarga saling merestui. Ibuku terisak, mengenang masa lalunya, ia menawari pilihan untukku. Cinta mesti memilih arah, agar biduk rumah tangga sampai pada dermaga tujuan.