Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Refleksi Kemunduran ke Maraton Demokrasi

9 Juli 2024   16:41 Diperbarui: 9 Juli 2024   16:45 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terjadi dengan demokrasi bangsa ini? Setelah 25 tahun sejak ditumbangkannya kediktatoran Soeharto pada 1998, dilucutinya kewenangan dwifungsi ABRI, dihapuskannya hukum represif yang membatasi demokrasi, dan jatuhnya banyak korban baik di kalangan mahasiswa, aktivis pro demokrasi, dan masyarakat, tampak jelas kini terjadi pembalikan proses demokrasi ke arah otoritarianisme. Waktu pemilu lalu, tanpa malu-malu wakil ketua Partai Golkar Erwin Aksa menghidupkan kembali sosok diktator Soeharto lewat Gen AI. Sejumlah hukum seperti KUHP, UU ITE, menghidupkan kembali pasal-pasal penghinaan presiden, belum lagi sedang dibahasnya RUU Penyiaran, RUU POLRI, dan RUU TNI yang isinya melarang pemberitaan investigasi dan menghidupkan kembali gagasan dwifungsi tentara/polisi. Bahkan belum lama panglima tinggi TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bagaimana TNI telah menjalankan bukan hanya dwifungsi, tetapi telah multifungsi di masyarakat. Bila tidak ada penolakan dari masyarakat sipil, demokrasi kita berada dalam masalah besar.

Refleksi Kemunduran Demokrasi

Selama 10 tahun terakhir ini, kita menghadapi demokrasi iliberal --- seolah seperti demokrasi, tetapi sebenarnya yang terjadi menjauhi proses demokrasi itu sendiri. Kita juga menghadapi demokrasi prosedural --- demokrasi dilaksanakan sebatas prosedur saja, seolah cukup hanya dengan pemilu, tanpa memerhatikan kalau proses pemilu itu sudah diakali untuk memenangkan satu capres tertentu. Betapa pilu saat membaca hasil survei Indikator yang dilakukan oleh Burhan Muhtadi dua minggu selepas Pilpres 2024. Mayoritas masyarakat (> 56%) memilih mengatakan cukup puas terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu 2024, sekalipun begitu banyak kritik dilontarkan oleh para intelektual dan pemerhati politik di Indonesia yang mengatakan pemilu 2024 telah dirusak dengan pembagian bansos (baca: politik uang), pelolosan calon wapres dengan mengubah batasan usia, dan lain-lainnya.

Bila itu semua betul-betul terjadi, tampaknya kita bukan saja menghadapi otoritarianisme baru, melainkan Neo-Totalitarianisme. Perihal totalitarianisme bisa dibaca dari karya pemikir Hannah Arendt, seorang filsuf politik. Ia membahas asal-usul totalitarianisme dalam karya terkenalnya The Origins of Totalitarianism yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1951. Dalam bukunya, Arendt menganalisis penyebab, pembentukan, dan implikasi totalitarianisme terhadap kehidupan demokrasi. Ia memberikan analisis mendalam tentang asal-usul dan dampak totalitarianisme. Ia menunjukkan bahwa fenomena ini muncul dari krisis sosial, ekonomi, dan politik, serta dibentuk melalui propaganda, pemimpin karismatik, teror, dan ideologi total. Implikasinya terhadap kehidupan demokrasi sangat merusak, menghancurkan kebebasan individu, struktur sosial tradisional, dan institusi-institusi demokratis, serta mendorong dehumanisasi. Pemikiran Arendt tentang totalitarianisme memberikan peringatan penting tentang bahaya otoritarianisme dan pentingnya mempertahankan nilai-nilai demokratis.

Di era digital ini, kita bukan hanya akan menghadapi lagi jenis totalitarianisme seperti pada zaman Adolf Hitler, Joseph Stalin, Benito Mussolini, Mao Zedong, Kim Jong-Un melainkan juga kelahiran neo-totalitarianisme. Wujudnya akan tampak, ketika kepemimpinan karismatik digantikan kepemimpinan populis yang membungkus diri dalam wujud pemimpin yang disukai banyak orang, akibat pencitraan diri sebagai orang baik, gemoy, dan lainnya. Dipropaganda lewat media sosial secara serentak dengan menyebarkan "toxic positivity" yang menguarkan hanya hal-hal yang positif dan baik saja terhadap sosok pemimpin, sambil menghindar untuk membahas tentang keburukan, kekurangan, bahkan pelanggaran hak asasi. Upaya kultus individu akan menyamakan pemimpin populis ini seperti orang baik tanpa dosa. Teror fisik dengan senjata yang dulu kerap digunakan oleh pemimpin totaliter digantikan dengan teror lewat teknologi digital yang lebih masif dan sekaligus menarget dengan dekat ke para pembangkang dan oposan lewat pemantauan digital dan pengerahan represi digital dari segala sisi, mulai dari tuntutan hukum, penyadapan, hingga pemutusan Internet. Pemimpin neo-totalitarianisme ini bukan saja hanya ingin dipuja, tetapi tidak boleh dikritik. Makanya ia menghidupkan kembali pasal-pasal pidana bagi mereka yang mengkritiknya dengan tuduhan telah menghina pemimpin bangsa.

Betapa gelap awan kehidupan di masa mendatang ini! Menakutkan dan ngeri membayangkan kekerasan akan kembali lagi menjadi menu sehari-hari. Jika ini yang terjadi terhadap demokrasi di negeri ini, apa yang perlu dilakukan?

Bersiap Maratan Demokrasi

Diktum lama di kalangan aktivis "educate, agitate, organize" yang dulu dipakai untuk membangun basis massa yang sadar dan melawan tampaknya perlu disegarkan lagi. Kelompok-kelompok studi yang membahas secara rutin masalah bangsa dapat ditumbuhkan kembali di kalangan masyarakat terdidik, terutama anak muda dan mahasiswa. Mereka ini yang kemudian masuk ke kelompok-kelompok masyarakat lebih luas untuk melakukan penyebaran gagasan dan mengorganisir ke arah perubahan. Tentu hasilnya tidak bisa dituai dalam waktu dekat. Ini jelas membutuhkan waktu panjang. Bila dianalogikan seperti lintasan lari, yang perlu disiapkan ke depan adalah stamina yang kuat dan konsisten untuk memenangkan "maraton demokrasi" ini.

Tapi kita juga sedang menghadapi amnesia sejarah -- akibat kampanya revisionisme sejarah yang menghapus soal-soal seperti pemerkosaan massal pada Kekerasan Mei 98, kekejaman militer pada gerakan masyarakat sipil dan impunitas pada para pelanggar hak asasi manusia. Belum lagi ada situasi penormalan atas sikap diskriminasi karena ditakut-takuti akan adanya kelompok intoleran. Nilai-nilai yang menunjang masyarakat demokratis kini sedang digerus dan hendak digantikan dengan pemikiran cara terbaik mengatasi intoleransi adalah tindakan tangan besi, agar pembangunan berlangsung lancar maka tidak boleh ada upaya mengganggu investasi, dan lain-lain. Hal semacam ini tidaklah boleh disepelekan dan perlu diselesaikan dengan baik agar tidak berlarut-larut.


Strategi organisasi dan mitigasi perlu dirancang ulang untuk mengimbangi kekuatan yang asimetris ini, yakni ketika rezim otoriter mengadopsi teknologi digital dan piawai menggunakan teknologi digital dengan tujuan mengawasi, menindas, dan memanipulasi warga negara. Oleh Scott Berenshot atau Alina Polyakova hal ini didefinisikan dengan nama Otoritarianisme Digital. Oleh karenanya, tugas (penyelamatan? pengembalian nilai-nilai?) demokrasi ini sebaiknya dilakukan secara bersama, lintas sektor, dan antar generasi dengan target awal untuk peningkatan kemampuan atau penguatan kapasitas masyarakat sipil menghadapi ancaman keamanan. Target selanjutnya adalah menyiapkan materi edukasi, tak terbatas pada keamanan holistik semata, dan terus menjaga ruang ekspresi yang ada, sambil menyiapkan outlet-outlet baru untuk menyalurkan gagasan dan kritikan bila sensor daring, penurunan konten, dan penutupan situsweb semakin marak terjadi.

Siasat-siasat untuk memanfaatkan teknologi digital yang melindungi privasi, terdesentralisasi, tak terlacak perlu dikuasai dan bahkan didorong untuk dibangun untuk menghindari praktik pemantauan dan penyadapan yang bisa menggembosi gerakan pro demokrasi.
Renungan ini diakhiri dengan harapan agar langkah-langkah ini sanggup setidaknya mengantisipasi ambruknya demokrasi di negeri ini dan membuat kita bersiap memasuki langit gelap dan sanggup berlari jauh. [dam]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun