Banyaknya mereka yang diinvestigasi oleh polisi siber menunjukkan bahwa situasi kebebasan berekspresi daring di Indonesia berada di bawah pengawasan berat yang sering berujung pada pembungkaman bagi mereka yang berbeda pendapat, terutama mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Sekalipun banyak pihak menyoroti kinerja kepolisian yang kurang jernih dalam memilah kasus-kasus yang terjadi, namun persoalannya tidak sesederhana itu. Bukan hanya polisi yang perlu disoroti, tetapi kelompok masyarakat sipil percaya bahwa norma pengaturan pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan sejumlah pasal bermasalah di dalam UU ITE yang justru menjadi kendala serius bagi kebebasan berekspresi di mayantara.
Pasal 27 ayat 3 jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE, merupakan duplikasi pasal 310, 311, 315, 317, 318, 319 KUHP. Ketentuan ini menghilangkan gradasi hinaan (fitnah, fitnah, laster, dsb). Dalam KUHP, istilah 'penghinaan' merupakan judul bab tersendiri yang bentuk perbuatannya terdiri dari enam bentuk tindak pidana, yaitu penodaan agama, penodaan agama dengan surat, fitnah, hinaan ringan, aduan palsu atau aduan fitnah, dan fitnah. tindakan.Â
Sementara itu, dalam UU ITE, tidak ada kategorisasi delik penghinaan. Pasal pencemaran nama baik juga seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas mengacu pada Pasal 19(3) Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik dan diberi kesempatan untuk membela kebenaran/verifikasi (Komentar Umum Komisi HAM PBB Nomor 34).Â
Komentar Umum PBB Nomor 34 ini merekomendasikan penghapusan pencemaran nama baik, jika tidak memungkinkan, pencemaran nama baik hanya diperbolehkan untuk kasus-kasus yang paling serius dengan ancaman bukan dipenjara. Hal ini berdampak pada spektrum tindakan atau ekspresi yang sangat luas yang dapat dijerat dengan ketentuan pasal ini yang kemudian mengakibatkan kerancuan dalam pelaksanaannya.
Dalam penerapannya, Pasal 27 ayat 3 UU ITE sering dijadikan alat balas dendam digunakan untuk kelompok yang lebih berkuasa atau berkuasa. Mereka yang dilaporkan bukan hanya individu, tetapi juga produk jurnalistik dan hasil penelitian ikut dilaporkan. Tampak nyata, terjadi perluasan penafsiran Pasal 27 ayat (3) yang sering digunakan untuk menjerat penghinaan yang ditujukan kepada perusahaan dan lembaga negara. Dengan adanya pasal ini berpotensi menjerat ekspresi sah yang dikeluarkan untuk kepentingan publik karena tidak mengenal pengecualian dan membatasi hak berekspresi dan berpendapat.
Misalnya, Saiful Mahdi, dosen universitas di Universitas Syiah Kuala, pada April 2020, divonis tiga bulan penjara dan denda berdasarkan Pasal 27 (3) UU ITE untuk pesan WhatsApp yang kritis terhadap proses rekrutmen di Universitas Syiah Kuala
 Atau pada kasus pelaporan Marco Kusumawijaya, seorang aktivis lingkungan, yang dilaporkan ke polisi dengan pasal yang sama oleh perusahaan Pantai Indah Kapuk, setelah menulis posting Twitter yang mengatakan PIK (Rumah Perumahan di Jakarta Utara) mengambil pasir dari pantai Bangka.
Hal yang sama juga ditemukan pada persoalan mengatur ujaran kebencian di mayantara. Jumlah orang yang diperiksa polisi, kemudian ditangkap dengan pasal-pasal ujaran kebencian selama pandemi memang menunjukkan peningkatan.
Namun yang ditemukan dalam kasus-kasus tersebut, tak sedikit pengguna media sosial yang sebenarnya mengungkapkan kekesalan betapa lambat dan tidak jelasnya pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 justru kemudian dituding telah menyebarkan disinformasi terkait COVID-19 dan menimbulkan kebencian pada pemerintah.
Salah satu contoh kasus yang menonjol, terjadi pada Wira Pratama di Kepulauan Riau, Sumatera, yang ditangkap setelah mengunggah meme bergambar Presiden Joko Widodo (Jokowi) di akun Facebook-nya. Dia melengkapinya dengan mengingatkan agar tidak korupsi anggaran COVID-19. Ia mengaku hanya bermaksud mengingatkan pemerintah untuk serius menangani pandemi. Namun, dia ditangkap polisi pada 8 April 2020. Dia diduga menyebarkan kebencian dan penghinaan terhadap Presiden Jokowi. Wira Pratama dijerat pasal 28 (2) UU ITE tentang ujaran kebencian.