Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Melawan Balik Otoritarianisme Digital

21 Desember 2022   09:01 Diperbarui: 22 Desember 2022   08:00 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai peristiwa peretasan aktivis dan akademisi, intimidasi dalam bentuk doxing kepada aktivis dan jurnalis, pengerahan cyber army yang dipimpin key opinion leader untuk menggeruduk para penolak kebijakan pemerintah, juga kepada media yang kritis, merupakan penanda bagaimana teknologi digunakan untuk melakukan represi terhadap kemerdekaan berekspresi dan kemerdekaan untuk berkumpul di Indonesia.

Kebangkitan Otoritarianisme Digital

Sebagai organisasi regional yang fokus pada membela hak-hak digital di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) betul-betul khawatir bahwa Indonesia akan segera menyusul banyak negara di kawasan yang kini mempraktikkan Otoritarianisme Digital. Kekhawatiran ini dapat dibaca dalam laporan kondisi hak digital di Indonesia pada Juli 2020.

Laporan SAFEnet 2020 ini menyatakan situasi perlindungan hak digital di Indonesia berada pada siaga satu otoritarianisme digital. Penindasan teknologi, seperti menggunakan bandwith throttling atau pemadaman internet di wilayah tertentu, memperburuk situasi yang selama ini telah terjadi banyak pelanggaran kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk mengadakan protes damai.

Laporan tahunan ini didasarkan atas pemantauan organisasi ini terhadap tiga hak digital di Indonesia. Pertama, hak untuk mengakses informasi: termasuk kebebasan untuk mengakses Internet, seperti ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan kendali ISP, kesenjangan digital, kesetaraan akses antar gender, sensor daring dalam bentuk penapisan dan pemblokiran, dan juga pemadaman internet. Kedua, hak untuk berekspresi secara bebas: termasuk keragaman konten, kebebasan berpendapat, dan penggunaan Internet dalam memobilisasi masyarakat sipil. Ketiga, hak untuk merasa aman saat daring: termasuk bebas dari pengawasan massal dan penyadapan tidak sah, kondisi perlindungan privasi, dan bebas dari serangan siber.

Laporan SAFEnet 2020 mengatakan Indonesia memiliki tantangan besar untuk menegakkan hak digital. Tantangan bagi perlindungan hak mengakses informasi, Indonesia menghadapi kesenjangan digital, membesarnya kelompok orang yang tidak mampu, terjadinya sensor daring dan pemadaman internet. 

Lalu tantangan dalam perlindungan hak berekspresi secara bebas adalah adanya regulasi internet yang bermasalah, terjadinya represi terhadap ekspresi yang sah, polarisasi komunikasi yang menghambat demokrasi, dan situasi yang tidak demokratis. Sedang pada hak atas rasa aman, tantangan yang dihadapi Indonesia adalah pengawasan massal, penyadapan tidak sah, terjadinya peretasan data, belum kuatnya peraturan privasi.

Demokrasi telah dibunuh teknologi digital?

Selama lebih dari dua dekade di Indonesia, saya telah menyaksikan korelasi kuat antara internet dan demokrasi. Secara historis, bisa dibaca di banyak literatur, penggunaan internet sejak tahun 1994 di Indonesia dinilai membantu untuk menggulingkan rezim Orde Baru yang korup di bawah Soeharto.

Dengan kata lain, teknologi digital melalui platform user-generated content (UGC) dan bentuk teknologi lainnya telah menciptakan demokrasi digital -- perluasan ruang untuk mengekspresikan kebebasan berbicara di mayantara. Dalam "Temu Demokrasi Digital 2014" yang digagas Forum Demokrasi Digital (FDD), menurut John Muhammad ada 64 inisiatif di internet berupa platform, website dan mobile apps yang berusaha memperbaiki demokrasi. Selama waktu itu, saya melihat contoh yang bagus bagaimana internet memiliki peran demokratisasi di Indonesia.

Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, saya menyaksikan bagaimana internet membalikkan semua yang kami banggakan. Teknologi digital juga menciptakan masalah terkait akun palsu, disinformasi, penyebaran pidato kebencian, dan jaringan ekstremisme. Situasi ini memicu pertanyaan yang perlu dijawab: Apakah demokrasi terbunuh oleh digital?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan memulai menjawab dari praksis pengamatan yang dilakukan selama ini oleh SAFEnet. Yang tampak menonjol adalah semakin banyaknya oknum-oknum jahat yang melakukan tingkah laku yang buruk. Semisal agitator online yang menggunakan hoaks/disinformasi dan serangan digital untuk mengalahkan lawan-lawan mereka. 

Sangat sering saya menemukan bagaimana oknum jahat ini memobilisasi akun troll dan bot untuk melakukan manipulasi platform yang sistematis untuk mengarusutamakan pendapat mereka dan "menyerang musuh mereka" menggunakan teknologi digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun