Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama featured

Ditulis Asal-asalan dan Meracau Bisakah Disebut Puisi?

1 Desember 2011   16:10 Diperbarui: 18 Mei 2019   14:28 1759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi puisi (Sumber: Pixabay.com/andreas160578)

Racauan Gieb terkumpul dalam buku "Dialah Ini Itu". Dan tampaknya Gieb akan terus membantah apa yang ia tulis di buku ini adalah puisi. Karena sepertinya ia mengemohi "puisi" yang telah telanjur terhegemoni oleh yang liris, yang rimatik, yang pamflet, yang lucu, puisi pada umumnya yang kita temukan dalam puisi-puisi yang ditulis Sapardi Djoko Damono, Gunawan Maryanto, Jokpin, Rendra. Mungkin itulah alasannya mencantumkannya sebagai "racauan". 

Sebuah bentuk barukah yang sedang digagasnya? "Racauan"-nya lebih mengedepankan yang prosaik, dengan tuturan pendek, dengan diksi yang menantang kecerdasan pembacanya. Mengangkat yang prosaik, sekilas saya mengingat Wendoko dan Kiswondo. Tetapi sebelum membandingkannya, saya ingin terlebih dulu mengembalikan pemahaman akan puisi jauh sebelum terhegemoni oleh macam-macam pendapat setelahnya. 

Bahwa ketika puisi dituliskan, kita akan bersinggungan lagi dengan rima, aliterasi, asonansi, irama, dan repetisi, yang semua berkaitan dengan bunyi -- asal-muasal kata itu sendiri. 

Puisi tampaknya sampai dengan hari ini masih bersandar ke bunyi: mulai dari gaya pantun lama sampai ke tembang, puisi lama hingga baru, sejatinya tetap tunduk pada hakikat kelisanannya, yakni bunyi. Bagaimanakah puisi Gieb yang berada dalam kumpulan "racauan" ini berbunyi? Dalam "Sengal", Gieb menulis demikian:

Nafas kita begitu sengal ketika pada sebuah jeda menemu diri yang menggigil di belakang konstelasi. Mengimajinasikan geografis yang sesak dengan sistem kode digital. Saat ciuman masa lalu dan masa depan bisa kita ciptakan secara simultan... Kita membeku. Dalam persepsi kuasa tubuh yang meninggalkan rasionalitas. Bahwa yang terbatas adalah yang tak terbatas. Menggeser spekulasi sebuah rindu yang mencengkeram.

Dalam narasi tadi, kesadaran yang kita pahami sebagai sumber kebenaran personal bahkan bisa dipertanyakan kembali karena kesadaran begitu mudah digoyahkan. 

Rasionalitas yang tali-temali dengan kesadaran pun tampaknya juga ikut goyah, manakala dihadapkan pada ciuman, rindu, hingga wajar bila kemudian kita tersengal. 

Gieb sedang berbicara tentang banyak hal dalam racauan "sengal": kesadaran/rasionalitas/pikiran yang terdefinisikan sebagai sumber kebenaran personal pun bisa patah/tumpul manakala dihadapkan pada kehendak tubuh. Lalu apakah tubuh itu? Gieb menjawabnya demikian dalam "Samar": 

Begitulah. Kita menangkap semesta yang saling berkaitan. Tubuh mempengaruhi pikiran. Pikiran mempengaruhi tubuh. Energi biologis menjadi luapan semangat. Sebaliknya luapan hati menjadi letupan tubuh yang menggagas percintaan...

Maka, inilah yang sedang disampaikan Gieb dalam racauannya. Ia berbicara banyak juga tentang bagaimana memaknai tubuh, bagaimana mendekonstruksi tubuh untuk memahami peta-petanya, mendefinisikan rindu, memaknai secara baru realitas yang sudah terlanjur didefinisikan oleh banyak orang dan dipahami secara umum. Dan tentu saja banyak kisah persetubuhan dan percintaan. Aku tak tahu benar bagaimana cara memahaminya kisah cinta itu selain mencoba membacanya dengan hati-hati, seperti yang Gieb tulis dalam "Setubuh": 

Sesungguhnya bila Dia menghendaki sesuatu, hanya dengan perintah "Bersetubuhlah!" Maka jadilah sebuah eros. Meski dengan sederhana. Seperti diksi yang langka. Dan aku sia-sia saja memahaminya.

Teks "racauan" Gieb tampak begitu pampat, termaktub dalam ujaran yang pendek, yang bahkan hanya bisa terdiri dari satu kata, namun kompleks. Kata demi kata seolah "mahluk hidup" yang saling bersahutan, saling melengkapi, saling berkejar sehingga bunyinya, paling tidak menurutku amatlah ramai dan cenderung gaduh. 

Lupakan bunyi yang damai dan meliuk indah mempermainkan rima! Lupakan kesederhanaan! Lupakan semua! Teks-teks Gieb seperti menerjang, menghantam semua batasan, mendobrak dengan penuh semangat dari kedalaman jiwanya, dihadirkan utuh tanpa sebuah eufemisme, begitu saja terhidang isi perut pikirannya ke hadapan pembaca. 

Terhadap bunyi yang gaduh demikian, pembaca harus pandai-pandai menyimak makna di balik kegaduhan yang ditawarkan. Dan terus terang, saya tertarik untuk membahas pemaknaan di balik setiap kegaduhan racauannya. Apa yang hendak disampaikannya? Apa yang menjadi kegelisahannya? Sensasi barangkali itu yang pertama-tama akan kita temui dalam karya Gieb. Terutama karena bentuknya yang anomali. Karena cara tuturnya yang anomali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun