Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi, aktivis, pembicara bidang Demokrasi Digital, Kebijakan Digital, dan Kecerdasan Artifisial.

Dosen UPN Veteran Jakarta, konsultan untuk Badan Penasihat Kecerdasan Artifisial PBB, pendiri KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia) dan PIKAT Demokrasi (Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi), serta pendiri/pengawas SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Realita yang Tercitra Dalam Bahasa Media Sosial

30 November 2011   18:16 Diperbarui: 31 Januari 2023   15:26 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosial telah melahirkan bahasa dan kosa kata baru. Bahasa ini kemudian melahirkan pemahaman akan dunia yang baru (Pixabay)

Media sosial telah melahirkan bahasa dan kosa kata baru. Bahasa ini kemudian melahirkan pemahaman akan dunia yang baru. Lalu seperti apakah pencitraan realita dunia baru dalam media sosial kita?

PENANDA yang membedakan kita dan generasi yang akan datang adalah kefasihan berbahasa di dunia digital. Kita yang tadinya terbiasa berbahasa dengan pensil/pena, buku, koran, dan mesin ketik, kini harus membiasakan untuk berbahasa dengan menggunakan teknologi maju: komputer, laptop, hingga tablet/smartphone. Kita masih membutuhkan sebuah transisi, sebuah migrasi untuk menggunakan bahasa baru ini.

Oleh pemikir di dunia pendidikan dan pengajaran Marc Prensky, kita digolongkan ke dalam kaum imigran digital (digital immigrant). Sedang generasi yang muncul kemudian adalah kaum pribumi digital (digital native) yang memang telah lahir untuk terbiasa berbahasa digital sebagai sebuah kelaziman. Bagaimana agar proses migrasi kita berjalan dengan lancar?

Pertama-tama yang harus disadari adalah pensil/pena, buku, koran, dan mesin ketik pada suatu ketika sebagai suatu bahasa akan usang, digantikan dengan bahasa baru yang lazim digunakan dalam games komputer, email, internet, telepon genggam dan instant messaging. Itulah sebabnya, kosa kata "gaptek" dari penyingkatan "gagap teknologi" adalah kosa kata yang tepat guna.

Gagap adalah persoalan ketidakmampuan untuk berbahasa dengan baik dan dalam hal ini, keterbataan dalam menggunakan bahasa digital. Maka penting untuk bisa menguasai bahasa ini.

Kedua, kemampuan berbahasa mempengaruhi sistematika berpikir dan mengolah informasi. Oleh karena itu, bila tidak sesegera mungkin bermigrasi, antara kita dan generasi pribumi digital akan memiliki pola berpikir dan orientasi pemikiran yang berbeda. Itulah yang seringkali didengungkan dengan akan datangnya "a brave new world" untuk menggantikan dunia yang kini kita kenal.

Pertanyaannya: dapatkah kita mengenali citra realita yang akan muncul itu. Setidaknya, dari embrionya yang kini sudah ada. Seperti apakah wujudnya?

Berawal dari "Aku" Bahasa pertama dunia digital yang harus dikuasai adalah bahasa "aku". Aku sebagai identitas, aku sebagai tubuh, aku sebagai pribadi yang unik, dan aku sebagai mahluk sosial. Manifestasinya muncul dalam ceceran status di lini masa/waktu (timeline) di facebook, twitter, g+, dan lainnya.

Namun apakah "aku" ini nyata?

Filsuf Perancis Jean Baudrillard bernubuat dunia sekarang semakin masuk ke hiperrealitas di mana kita tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang bukan.

Perasaan kita bisa turut hanyut membaca status di facebook atau twitter daripada tersentuh dengan nasib pengemis yang sedang meminta-minta di samping kita.

Psikolog John Suler, dalam buku Facebook and Philosophy: What’s on Your Mind? menulis, saat menggunakan sosial media orang lebih gampang menampilkan kesejatian dirinya (self-disclose) bila dibanding dalam dunia nyata.

Di dunia ini, orang bisa mengeluarkan semua isi hati, kekesalan, kritikan, komentar provokatif, dan sebagainya akan tetapi di dalam dunia nyata ia terkenal pendiam. “On the internet, nobody knows you’re a dog!” kelakar kartunis Peter Steiner di koran The New Yorker tanggal 5 Juli 1993. Kebenaran Brutal Bahasa kedua adalah kebenaran brutal.

Dalam keseharian berbahasa, generasi ini menyukai percakapan yang lebih terbuka, blak-blakan, dan menuntut kejujuran total. Kalau suka, mereka bilang suka, dan kalau jelek, mereka akan bilang jelek. Tak jarang, bila berbahasa kasar justru semakin dihargai sebagai sebuah kejujuran.

Dengan sifatnya yang terbuka atau koridor aksesnya yang tanpa pagar dan batas, maka segala bentuk rahasia dan kebohongan yang selama ini disimpan rapi oleh individu, kelompok, atau negara demi memanipulasi realitas, dapat dibeberkan dalam media sosial, seperti yang dilakukan Wikileaks.

Namun apakah yang demikian ini benar-benar berlaku?

Lewat teknologi rekam jejak, status dan obrolan seseorang dapat diuji kebenaran dan kejujurannya. Setiap orang harus hati-hati dalam berkata, berkomunikasi, dan bertindak. Konsistensi kebenaran berbahasa setiap orang akan diuji. Tetapi biar bagaimanapun manusia selalu mempunyai rahasia. Itu sebabnya dikenal bahasa enkripsi yang tersimpan rapat di balik kata-kata. Kebebasan Sebagai Panglima Bahasa ketiga adalah bahasa kebebasan.

Bagi kaum ini, tidak ada aturan bagaimana cara berbahasa, yang paling penting adalah dimengerti. Tidak menjadi soal apakah bahasa itu disingkat-singkat, di-alay-kan, dicampur aduk dengan bahasa Inggris-Betawi-Emoticon yang penting pesan tersampaikan. Untuk bisa berbahasa demikian, kuncinya adalah berpartisipasi dan beradaptasi.

Namun benarkah kebebasan sejati itu bisa terjadi? Belum lama ini, terbetik kabar di Associated Press terungkapnya Ninja Pustakawan (Librarians Ninja) yang dipekerjakan oleh badan rahasia Amerika, CIA, untuk mendata apa saja informasi yang beredar bebas di dunia digital dan kemudian data-data ini diserahkan kepada Gedung Putih.

Bila dulu, penyelenggara negara paling paranoid bila melihat orang berkumpul dan cara mencegahnya adalah membatasi kebebasan mereka untuk berkumpul dalam bentuk organisasi maupun serikat, kini di era media sosial, orang bebas bicara, beropini apa saja, bahkan bebas mengkritik, dan sebagainya, namun sebenarnya, kebebasan bicara di media sosial ini bisa menjadi alat pengawasan baru bagi penguasa untuk mengontrol warganya.

Semakin kita banyak berbahasa di media sosial, semakin mudah penguasa mengontrol kebebasan karena semakin banyak data yang bisa diakses. Kecepatan Instan Kecepatan adalah sesuatu yang ditawarkan oleh cara berbahasa digital.

Informasi dapat ditampung lebih dulu, di-skimming selagi proses tengah berlangsung. Googling mempercepat arus informasi dan pembentukan realita yang baru.

Namun perlu diingat bahwa bahasa media sosial memiliki kesanggupan untuk menciptakan manipulasi informasi, rekayasa citra, simulasi realitas. Kecepatan instan dalam mengumpulkan informasi, pengetahuan, dan kebenaran dapat mengarah ke penarikan kesimpulan yang salah atas realita.

Alih-alih mau cepat, malah tidak memiliki pemahaman yang mendalam. Demikianlah citra-citra realita dunia digital yang tampak dari penggunaan bahasa dalam media sosial kita.

Citranya sepintas lalu menjanjikan, namun dibutuhkan upaya untuk meniadakan paradoks-paradoks yang muncul saat ini agar kelak realita yang muncul sesuai dengan yang kita impi-impikan, bukan cuma sekedar fenomena semata. [dam]

Silakan disimak juga, artikel/tulisan yang menarik ini untuk menambah wawasan tentang media sosial:
Marc Prensky: Digital Immigrants, Digital Native
Librarians Ninja
The Paradox of Social Media
Media Sosial Budaya Demokrasi
13 Paradoks dalam Masyarakat New Wave

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun