Perasaan kita bisa turut hanyut membaca status di facebook atau twitter daripada tersentuh dengan nasib pengemis yang sedang meminta-minta di samping kita.
Psikolog John Suler, dalam buku Facebook and Philosophy: What’s on Your Mind? menulis, saat menggunakan sosial media orang lebih gampang menampilkan kesejatian dirinya (self-disclose) bila dibanding dalam dunia nyata.
Di dunia ini, orang bisa mengeluarkan semua isi hati, kekesalan, kritikan, komentar provokatif, dan sebagainya akan tetapi di dalam dunia nyata ia terkenal pendiam. “On the internet, nobody knows you’re a dog!” kelakar kartunis Peter Steiner di koran The New Yorker tanggal 5 Juli 1993. Kebenaran Brutal Bahasa kedua adalah kebenaran brutal.
Dalam keseharian berbahasa, generasi ini menyukai percakapan yang lebih terbuka, blak-blakan, dan menuntut kejujuran total. Kalau suka, mereka bilang suka, dan kalau jelek, mereka akan bilang jelek. Tak jarang, bila berbahasa kasar justru semakin dihargai sebagai sebuah kejujuran.
Dengan sifatnya yang terbuka atau koridor aksesnya yang tanpa pagar dan batas, maka segala bentuk rahasia dan kebohongan yang selama ini disimpan rapi oleh individu, kelompok, atau negara demi memanipulasi realitas, dapat dibeberkan dalam media sosial, seperti yang dilakukan Wikileaks.
Namun apakah yang demikian ini benar-benar berlaku?
Lewat teknologi rekam jejak, status dan obrolan seseorang dapat diuji kebenaran dan kejujurannya. Setiap orang harus hati-hati dalam berkata, berkomunikasi, dan bertindak. Konsistensi kebenaran berbahasa setiap orang akan diuji. Tetapi biar bagaimanapun manusia selalu mempunyai rahasia. Itu sebabnya dikenal bahasa enkripsi yang tersimpan rapat di balik kata-kata. Kebebasan Sebagai Panglima Bahasa ketiga adalah bahasa kebebasan.
Bagi kaum ini, tidak ada aturan bagaimana cara berbahasa, yang paling penting adalah dimengerti. Tidak menjadi soal apakah bahasa itu disingkat-singkat, di-alay-kan, dicampur aduk dengan bahasa Inggris-Betawi-Emoticon yang penting pesan tersampaikan. Untuk bisa berbahasa demikian, kuncinya adalah berpartisipasi dan beradaptasi.
Namun benarkah kebebasan sejati itu bisa terjadi? Belum lama ini, terbetik kabar di Associated Press terungkapnya Ninja Pustakawan (Librarians Ninja) yang dipekerjakan oleh badan rahasia Amerika, CIA, untuk mendata apa saja informasi yang beredar bebas di dunia digital dan kemudian data-data ini diserahkan kepada Gedung Putih.
Bila dulu, penyelenggara negara paling paranoid bila melihat orang berkumpul dan cara mencegahnya adalah membatasi kebebasan mereka untuk berkumpul dalam bentuk organisasi maupun serikat, kini di era media sosial, orang bebas bicara, beropini apa saja, bahkan bebas mengkritik, dan sebagainya, namun sebenarnya, kebebasan bicara di media sosial ini bisa menjadi alat pengawasan baru bagi penguasa untuk mengontrol warganya.
Semakin kita banyak berbahasa di media sosial, semakin mudah penguasa mengontrol kebebasan karena semakin banyak data yang bisa diakses. Kecepatan Instan Kecepatan adalah sesuatu yang ditawarkan oleh cara berbahasa digital.