"Anakku Bukanlah Milikku"
Kalimat diatas terus menerus saya katakan pada diri saya sendiri. Seringkali muncul ketika saya sedang menyusui anak saya sambil memandangi wajahnya.
Saya terus mengingatkan diri saya bahwa anak saya adalah milik-Nya, maka saya harus menyingkirkan segala kepentingan pribadi saat mendidik dan membesarkan anak saya.
Saya mencoba 'recall memory' saya saat sedang menghadapi orang tua murid untuk memberikan beberapa saran sehubungan dengan relasi mereka dengan anak-anaknya ataupun mengenai pola asuh yang sesuai dengan karakter anak mereka.
Saya mengingat situasi-situasi yang tidak menyenangkan saat ada orang tua yang tidak menerima dan bahkan berkata bahwa karena saya belum memiliki anak, jadi mudah saja bagi saya untuk berteori.
Sekarang inilah waktunya bagi saya dan suami untuk mendidik anak kami. Mempraktikkan kepada anak sendiri apa yang selama ini saya 'teorikan' dan saya terapkan kepada anak-anak disekolah.
Saya bersyukur ketika suami saya sangat aktif dalam diskusi menyepakati pola asuh dalam mendidik anak kami. Bahkan begitu bersemangat berlatih melakukan bagiannya sejak anak kami dalam kandungan. Thank God!
*) Konsep dasar mendidik anak sangat dipengaruhi oleh pandangan orang tua terhadap kehadiran anak dalam keluarga. Mazmur 127:3, bahwa anak adalah Pusaka dari Tuhan, maka anak tidak boleh dilihat sebagai sumber kebahagiaan atau kerepotan bagi orang tua tetapi sebagai pemberian yang berharga. Orang tua adalah wakil Tuhan dihadapan anak, kewibawaan ayah dan kelembutan ibu adalah 'image' yang akan dilihat oleh anak sebagai karakter Tuhan.
*) Prinsip dalam mendidik anak terletak kepada memikirkan/melakukan sesuatu untuk kebaikan anak sesuai dengan potensi dan karakternya yang dikembangkan sesuai dengan kehendak-Nya untuk kemuliaan-Nya bukan sesuai dengan kehendak orang tua atau untuk harga diri orang tua.
Mendidik haruslah dengan bijaksana, tidak melulu dengan memanjakan sebagai bentuk kasih, namun juga proses penanaman karakter ilahi melalui hal-hal yang mungkin tidak menyenangkan yang harus dilalui oleh anak.
Perlunya ditanamkan dalam diri anak untuk memiliki sukacita karena pemeliharaan dan keselamatan yang dianugerahkan melalui Tuhan Yesus, bukan bersukacita karena kondisi keuangan/materi yang berlimpah.