Ojek yang kami tumpangi berhenti tepat di depan sebuah bangunan kembar. Bangunan ini mirip mercusuar,tinggi menjulang, tapi karena dibangun dari jalinan bambu maka bagi saya lebih menyerupai kreativitas dan keunikan dari pemiliknya. Kami sempat terdiam beberapa saat, sambil celingukan saya berusaha mencari tahu di mana letak pintu masuk sehingga dapat menemui si empunya rumah.
Omah Lor, begitu sebutan yang diberikan si pemilik untuk rumah yang akan kami kunjungi.  Dibangun di dusun Gunungsari, desa  Candibinangun,  Pakem,  Omah Lor menyajikan atmosfir berbeda di tengah hiruk pikuk Yogyakarta yang hampir serupa dengan Ibu Kota.
Kami pun kemudian berjalan menyusuri titian setengah jadi yang sengaja dibuat sebagai jembatan darurat. Dari situ, tibalah kami di area halaman yang sedang dalam proses pengerjaan taman.
"Pak, maaf numpang tanya. Bu Dwi apa di rumah, ya?" begitu tanya saya pada salah satu pekerja bangunan yang sedang menyusun pecahan batu bakal jalan setapak di halaman.
"Bu Dwinya ada, tapi mungkin sedang di belakang. Tunggu sebentar ya, saya panggilkan dulu." Laki-laki itu pun kemudian berlalu meninggalkan kami. Berjalan menuju salah satu bangunan berbentuk kerucut yang hampir keseluruhannya berbahan dasar bambu.
Daripada berdiam diri menunggu si empunya rumah, saya pikir lebih baik berjalan-jalan di pekarangan sekitar rumah bambu ini. Perhatian saya pun langsung tertuju pada beberapa rak bambu yang berderet rapi di bagian samping pekarangan rumah. Aneka bibit sayuran organik yang disemai dalam polybag dan media tanam lain menunjukkan tanda-tanda siap dipindahkan dalam area yang lebih luas. Â Tak ketinggalan cabai, tomat, sawi, Â adas dan aneka herba lokal nampak tumbuh liar di sekitarnya. Membuat saya geregetan ingin mencabut untuk dibawa pulang ke Jakarta.
Hampir tujuh tahun tak berjumpa, perempuan ini tetap seperti sedia kala. Nyentrik dan apa adanya. Kalau ada yang berubah mungkin lebih pada gaya hidupnya yang semakin dekat dengan alam.
Kami pun berpelukan untuk melepas kerinduan yang sudah terlalu lama. Tak lupa, saya mengenalkan  kedua anak saya---Najwa dan Najib---kepada perempuan yang biasa saya panggil "Mbak Wik" ini.
Awalnya, baik saya maupun anak-anak merasa sedikit canggung dan agak ngeri dengan keempat anjing yang sedianya selalu mengikuti si empunya rumah. Tapi kemudian kami terbiasa, karena anjing-anjing ini sudah familiar dengan manusia, Â bahkan gampang akrab dengan yang belum mereka kenal. Saya pun berusaha menenangkan anak-anak sambil meyakinkan bahwa Nocky dan teman-temannya adalah kawan.
Kembali dan Bekerja Sama dengan Alam
 "Sampeyan hebat, Mbak!" kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut saya kepada perempuan mungil  di depan saya.
"Hebat apane?" begitu jawabnya dengan spontan. Persis beberapa tahun yang lalu saat kami masih menjadi rekan kerja.
Tak dapat saya pungkiri, sejak pertama kali menginjakkan kaki di area Omah Lor saya sudah merasa kagum dengan pemiliknya. Pertama dari pemilihan lokasinya yang jauh dari kebisingan kota. Omah Lor terletak di ujung gang paling dalam. Berbatasan langung dengan Kali Boyong di bagian belakang, sawah dan kebun bambu di samping kanan kirinya, menyebabkan lokasinya tersembunyi. Tak banyak rumah yang ada di sekitarnya tapi bukan berarti penghuninya tertutup dengan lingkungan.
Kami pun mulai bercerita banyak hal. Salah satunya tentang gaya hidup yang kini sedang ditularkannya  kepada siapa saja yang bersedia. Mbak Dwi banyak bercerita tentang upayanya untuk menularkan virus bekerja sama dengan alam. Mulai menanam, memelihara bahkan mengolah sendiri bahan pangan yang dibutuhkan.  Misalnya kopi yang diolah sendiri dari biji hingga siap diseduh dalam cangkir. Atau sourdough yang langsung diadoni dengan kedua tangannya dan disajikan hangat dari oven miliknya.
Teman-teman pasti pernah, ya, melihat limbah dari sisa pedagang sayur di pasar tradisional yang menggunung jumlahnya? Nah, Mbak Wiwik adalah salah satu orang yang peduli untuk memilah dan memanfaatkan limbah tersebut. Ada bagian tertentu yang menurutnya masih layak untuk konsumsi manusia. Ada juga yang bisa menjadi makanan binatang. Sedangkan bagian yang sudah benar-benar rusak, maka komposter lah yang akan menjadi tempat barunya.
Pelatihan Desain Permakultur
Tak cukup membiasakan dirinya sendiri untuk bekerja sama dengan alam, Dwi Pertiwi begitu nama yang tertera pada kartu identitasnya juga dengan senang hati memaparkan langsung gaya hidupnya pada orang-orang yang singgah ke tempatnya. Siapapun yang pernah datang ke Omah Lor, pasti merasa antusias untuk melihat bagaimana Mbak Wik mengelola pekarangan dan bahan pangan yang dimilikinya. Bagaimana cara hidup dan memanfaatkan barang yang dimiliki untuk memiliki lebih dari satu nilai guna.
Pada suatu waktu, ia juga mengajak teman dan lingkungan sekitar untuk belajar bersama. Selain materi komposter, ia pun banyak berbagi tentang penanaman aneka varietas baru hasil penyilangan yang diujicobakan di sana. Bahkan, kalau kita rajin mengikuti sosial medianya yaitu di akun  facebook  yang bernama Dwi Pertiwi, maka kita aan sering melihat aneka tips do it yourself untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. tentunya dengan memaksimalkan pemanfaatan aneka barang yang ada di sekitarnya.
- Tanah dan pengelolaan tanah
- Air dan pengolahan limbah
- Metode desain dan berpikir kreatif
- Desain bersama alam
- Sistem iklim
- Pohon dan transaksi energi
- Strategi penanaman
- Taman pangan
- Permakultur sosial
- Membuat biochar
- Membuat lingkaran pisang dan kompos
- Membuat pupuk cair
- Mengelola rumah bibit
- Membuat kombucha dan kefir
Bayangkan saja jika sebagian besar dari kita memiliki keterampilan dan kemauan sejenis. Masalah kelangkaan bahan pangan dan malnutrisi mungkin bisa ditekan serendah-rendahnya. Kuncinya adalah keterampilan dalam mengolah untuk menjaga ketersediaan bahan pangan. Selain itu  juga harus kreatif mencari alternatif sumber pangan bernutrisi. Dan tentunya mulai beralih pada gaya hidup lokal sehingga tak perlu khawatir dengan inflasi.
Ketekunan, kreativitas dan kepedulian Dwi Pertiwi dalam mengelola lingkungan membuat saya semakin takjub padanya. Tak hanya cerdas dan peduli, tapi sosok perempuan sepertinya sudah sangat jarang, bahkan susah ditemukan dewasa ini. Â
Kunjungan ke Omah Lor banyak memberikan pengalaman positif bagi kami bertiga. Selain menambah pengetahuan tentang pemanfaatan pekarangan rumah, kami pun jadi  terdorong untuk menghargai setiap butir yang dapat kami petik langsung dari pohonnya. Keterampilan seperti ini acap kali terdengar kurang penting saat kita hidup di zaman di mana segala hal dengan mudah bisa kita dapatkan. Tapi, pada dasarnya keterampilan seperti bertahan hidup dan mampu memanfaatkan apa yang alam sediakan adalah basic life skill yang harus dimiliki setiap manusia.