Pemandangan hijau menghampar di hadapan saya ketika kendaraan yang kami tumpangi berhenti di perbatasan Magetan dan Panekan.
Dari rumah ibu saya yang terletak di pusat kecamatan kota, hanya butuh kurang lebih lima belas menit untuk sampai di desa yang merupakan salah satu penghasil sayuran dengan kualitas terbaik di kota pegununungan ini. Sumberdodol, begitu nama desa yang memiliki luas sekitar 240 hektare ini disebut.
Kalian yang pernah mendengar atau berkunjung ke desa ini mungkin sudah tidak asing dengan cerita tentang banyaknya sumber mata air yang memancar dari dalam bumi desa ini.
Konon, nama Sumberdodol sendiri diambil karena masyarakat menghubung-hubungkan antara sumber mata air dan aktivitas perniagaan yang kerap kali terjadi di sekitarnya.Â
Tepatnya di dukuh Blanten, yang merupakan tempat mengalirnya sumber terbesar. Warga desa di sini kerap berjualan hasil bumi (dalam bahasa Jawa dodolan).
Akhirnya kedua hal ini pun digabungkan, antara "sumber" dan "dodol" menjadi Sumberdodol, nama desa  yang masih digunakan hingga hari ini.Â
Area  persawahan yang lebih luas ketimbang pemukiman warga, menjadikan pertanian sebagai penyokong utama kehidupan di desa ini.
Terlebih, banyaknya sumber mata air yang kalau tidak salah ada di 11 Â lokasi, berimbas positif pada sistem irigasinya.
Sedangkan, suhu udara yang mencapai 28 derajat celcius pada hari-hari biasa, atau lebih rendah saat musim penghujan. Sangat mendukung untuk ditanami aneka sayuran yang menjadi salah komoditas utama desa ini.
Suatu saat, jika kebetulan kalian berkesempatan mengunjungi kota Magetan, maka jangan lewatkan desa yang satu ini.
Seperti halnya saya yang terperangah ketika pertama kali datang ke sini, kalian pun akan takjub dengan jernihnya air yang mengalir di parit-parit di kanan kiri jalan setapak yang kalian lalui.
Jika sudah memasuki area persawahan, kalian pasti akan dibuat takjub kembali, karena sawah di sini tak pernah kering. Hijau dengan aliran air yang tak pernah habis.
Begitu pula dengan sungai dan beberapa tempat pemandian yang sengaja dibuat di sekitar area sumber. Jernih dan deras mengalir, Â seolah tak pernah berhenti dilimpahkan dari pusat bumi.
Beberapa kali saya menggeleng-geleng, takjub, membayangkan betapa berharganya air ini jika berada di Jakarta atau beberapa daerah di Indonesia yang masih mengalami krisis air bersih.
Aliran air yang begitu deras ini kemudian dimanfaatkan warga untuk memenuhi hajat hidup mereka. Di beberapa tempat, sengaja di buat kolam kecil untuk menampung air yang luber-luber.
Tempat seperti itu biasanya khusus untuk mencuci  sayuran dari sawah sebelum diikat kecil untuk kemudian dijual ke pasar.
Selain itu warga juga sekalian memanfaatkannya untuk mencuci tangan  dan kaki sepulang dari sawah. Atau bahkan berwudhu sebelum pergi beribadah.
Tempat-tempat yang seperti ini biasanya sudah diberi penutup yang terbuat dari bambu yang dijalin menyerupai pagar tapi rapat.
Tapi tetap saja aktivitas di dalamnya terlihat jika kebetulan kita berdiri di area yang lebih tinggi.Â
Urusan "buang hajat" beda lagi. Kalau nggak di sungai, pari-parit kecil yang berada di antara semak dan pepohonan menjadi "toilet umumnya". Nggak percaya? Saya sendiri sudah mengalaminya.Â
Hal ini sedikit mengejutkan, karena bagi saya dan mungkin sebagian orang lain, urusan "buang hajat" tak sekadar membuang kotoran. Ada norma kesopanan dan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan sebelum melakukannya di tempat terbuka.
Sanitasi dan Stunting
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa masalah stunting tidak hanya disebabkan karena faktor ketercukupan gizi, perilaku hidup dan masalah genetik.
Pengetahuan tentang Sanitasi merupakan salah satu dasar yang harus diperhatikan suatu bangsa ketika ingin terbebas dari permasalahan yang mengancam kualitas generasi penerusnya.
Menurut salah satu tulisan yang saya pelajari dari Millenium Challenge Account- Indonesia, pada tahun 2015, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilansir Kemenkes menyebutkan bahwa, "Daerah yang kondisi sanitasinya buruk, bisa ditandai dengan rendahnya akses rumah tangga ke area jamban sehat. Kondisi ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi untuk kasus stunting," begitu yang disebutkan salah satu perwakilan dari pihak UNICEF.
Penanganan stunting tak bisa dilakukan hanya melalui pendekatan gizi.  Sebab, masalah sanitasi berkaitan erat dengan masalah pertumbuhan fisik  dan kognitif tersebut.
Sebuah riset juga menuliskan bahwa sebanyak kurang lebih 50 juta masyarakat Indonesia (data 2015) masih memiliki kebiasaan buang air besar sembarangan. Sungai dan parit merupakan beberapa alternatif tempat yang sering dijadikan "toilet umum".
Khusus di desa Sumberdodol sendiri, masalah sanitasi tidak berkaitan dengan ketersediaan air bersih atau kecukupan gizi.
Karena kenyataannya, di sana air bersih melimpah, bahkan langsung dari sumbernya. Hasil bumi bagus dan berkualitas karena tanahnya subur. Begitu pula udara yang masih segar dan jauh dari polusi.
Desa Sumberdodol juga bukan merupakan desa dengan ancaman stunting. Tapi, kebiasaan menerapkan sanitasi sehat, seperti menyediakan jamban di rumah masing-masing perlu mendapatkan perhatian.
Tentu masalah ini pun tidak terjadi secara keselurahan, karena banyak juga warga yang sudah menyediakan jamban rumah tangga, meskipun balik lagi, belum semuanya.
Perkembangan Sanitasi di Dukuh Ngablak
Hingga akhirnya perubahan pun terjadi. Berawal dari sekelompok mahasiswa dari salah satu universitas negeri di Surakarta---yang sedang melakukan pengabdian di dusun Ngablak--- meninggalkan dua unit toilet umum mungil sebagai kenang-kenangan untuk warganya.
Toilet umum ini dibangun di dekat area sumber air, yang masih dimanfaatkan sebagian warga untuk mandi dan mencuci pakaian.
Lalu, apakah masih ada warga yang melakukan kebiasaan lama?
Menurut keterangan dari nara sumber yang saya hubungi, masih ada saja warga yang kembali pada kebiasaan lama---buang hajat di parit atau sungai---tapi jumlahnya sudah tidak banyak.
Masalah mengubah kebiasaan memang tidak semudah membalikkan tangan. Perlu pendekatan yang terus menerus dan berkesinambungan. Sehingga hasilnya pun lebih optimal.
Kesadaran akan pentingnya sanitasi sehat dan jamban rumah tangga pun bukan hal baru lagi di sana.
Maka jangan kaget jika kebetulan bertamu ke rumah salah satu warganya, karena jamban mereka pun tidak kalah dari masyarakat kota pada umumnya.
***
Referensi: Soendoel.blogspot.com, pengamatan langsung penulis, wawancara dengan warga sebagai nara sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H